Sabtu, 17 September 2011

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN




Oleh:

M. Sanusi

I. Pendidikan Merupakan Hak Asasi Manusia  
      Hak atas Pendidikan adalah merupakan salah satu hak asasi manusia yang diatur dalam instrumen internasional hak asasi manusia khususnya International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights 1966 (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melaui Undang-undang Nomor 11 tahun 2005; maupun konstitusi negara Republik Indonesia (UUD 1945), dan merupakan hak yang tidak bisa diabaikan oleh negara. Sesungguhnya HAM yang tergolong sebagai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya telah tertuang dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 yang kemudian dielaborasikan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966. Kovenan tersebut terdiri dari 31 pasal yang terbagi ke dalam 6 bagian. Inti Kovenan tersebut dalam Bagian III (Pasal 6-Pasal 15), yang menyebutkan hak-hak yang dilindungi, yaitu : 
Hak atas Pekerjaan, termasuk hak setiap orang untuk memiliki kesempatan mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas (Pasal 6); 
Hak atas kondisi kerja yang layak (Pasal 7); 
Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (Pasal 8); 
Hak atas jaminan sosial (Pasal 9); 
Hak atas perlindungan bagi keluarga (Pasal 10); 
Hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan tempat tinggal (Pasal 11); 
Hak atas kesehatan (Pasal 12); 
Hak atas pendidikan (Pasal 13 dan Pasal 14); 
Hak atas kebudayaan (Pasal 15); 
      DUHAM 1948 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966 membawa konsekuensi bagi suatu Negara untuk mengimplementasikan hak-hak yang terkandung di dalam dua instrumen tersebut, salah satunya adalah hak atas pendidikan yang merupakan fokus kajian ini. Pendidikan adalah hak asasi manusia yang sekaligus sarana untuk merealisasikan HAM lainnya. Pendidikan adalah sarana utama dimana orang dewasa dan anak-anak yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat dirinya keluar dari kemiskinan serta memperoleh cara untuk turut terlibat dalam komunitasnya. Pendidikan juga berperan penting dalam rangka memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan seksual, dan mempromosikan HAM dan demokrasi. 
      Dari klasifikasi pasal-pasal tersebut di atas tampak bahwa dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966 terdapat dua pasal mengenai hak untuk menikmati pendidikan, yaitu Pasal 13 dan pasal 14. Pasal 13 memuat ketentuan yang paling komprehensif dan meliputi banyak hal mengenai hak untuk menikmati pendidikan.
Pasal 13: 
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengaku hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, memajukan pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan kegiatan Perserikatan bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian. 
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui, bahwa dengan tujuan untuk mencapai perwujudan sepenuhnya hak ini: 
pendidikan dasar harus bersifat wajib dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; 
pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan, harus secara umum tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; 
pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semua orang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; 
pendidikan fundamental harus didorong atau diintensifkan sejauh mungkin bagi orang-orang yang belum pernah mendapatkan atau belum menyelesaikan seluruh pendidikan dasar mereka; 
pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk, dan kondisi materiil staf pengajar harus terus-menerus diperbaiki. 
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali murid yang sah untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka, selain sekolah yang didirikan oleh lembaga pemerintah,  sepanjang sekolah tersebut memenuhi standar pendidikan minimum sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh pemerintah negara yang bersangkutan, dan untuk melindungi pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. 
Tidak satu pun ketentuan dalam pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk mencampuri kebebasan individu dan bukan untuk mendirikan dan mengurus lembaga pendidikan, sepanjang prinsip-prinsip yang dikemukakan dalam ayat 1 pasal ini selalu diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga tersebut memenuhi standar minimum yang telah ditetapkan oleh Negara yang bersangkutan. 
Pasal 14: Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, yang pada saat menjadi pihak belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cuma-cuma di wilayah perkotaan atau wilayah lainnya, berjanji, dalam jangka waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci untuk pelaksanaan bertahap prinsip wajib belajar secara cuma-cuma bagi semua orang, dalam jumlah tahun yang harus ditetapkan dalam rencara tersebut. 
     Dalam perspektif hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara berkewajiban memenuhi dan menghormati HAM, termasuk hak atas pendidikan. Kegagalan melaksanakan kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM. Kewajiban untuk menghormati (to respect) mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam hal dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kewajiban untuk memenuhi (to fullfil) mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, alokasi anggaran, hukum dan semua tindakan lain yang memadai guna melaksanakan sepenuhnya semua hak tersebut.
      Pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terjadi ketika negara menempuh lewat perbuatan atau tidak melakukan perbuatan, suatu kebijakan atau praktek yang secara sengaja menolak atau mengabaikan kewajiban yang ada dalam kovenan, atau gagal mencapai standar pelaksanaan atau pencapaian yang diwajibkan. Setiap diskriminasi yang didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau paham lain, asal bangsa dan kelompok sosial, kekayaan, kelahiran dan status lain dengan tujuan atau pengaruh yang menghapuskan atau menghalangi pemenuhan atau pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang setara, merupakan pelanggaran terhadap Kovenan.

II. Periode Perkembangan Pendidikan di Indonesia
      Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa periode perkembangan yang dinamis dan memperlihatkan kompleksitas hubungan antara pendidikan dan politik. Setiap periode ditandai oleh adanya infiltrasi politik terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan dan implikasi sistem pendidikan terhadap dinamika politik. Sketsa penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dapat dibagi menjadi enam periode perkembangan. 
          Periode pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang berlangsung hingga pertengahan tahun 1800-an. Pada periode ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan pengembangan keterampilan hidup. Penyelenggaraan pendidikan pada periode ini dikelola dan dikontrol oleh tokoh-tokoh agama. Mereka memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan, bagaimana dan di mana pembelajaran dilakukan, dan siapa yang berhak dan tidak berhak atas program pendidikan tertentu. Kegiatan pendidikan menjadi bagian integral dari kegiatan keagamaan. Nilai-nilai agama menjadi acuan dasar penyelenggaraan pendidikan dan kegiatan kependidikan menjadi sarana utama untuk memahami, mengamalkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai agama. 
      Periode kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun 1980-an hingga tahun 1945. Pada periode ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air diwarnai oleh proses modernisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan pemerintahan kolonial dan aktivitas berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme. Kegiatan pendidikan diarahkan pada upaya mendiseminasi nilai-nilai modernisasi dan sekularisasi di kalangan pribumi dan mencetak para pekerja yang dapat dieksploitasi untuk mendukung misi sosial, politik, dan ekonomi pemerintah kolonial. Di pihak lain, para aktivis gerakan kemerdekaan, baik dari kalangan agama maupun kalangan sekular, berusaha sekuat tenaga mendesain dan mengembangkan kegiatan pendidikan yang dapat membuka mata hati dan pikiran kaum pribumi terhadap berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap mereka sehingga memiliki kesadaran dan keberanian untuk bangkit melawan penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka serta berdaulat. 
      Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945. Pada periode  ini gerakan kemerdekaan sudah menyebar ke seluruh pelosok negeri dan telah menjadi kekuatan politik yang cukup kuat untuk menentukan arah perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk bidang pendidikan. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya mendesiminasi nilai-nilai dan semangat nasionalisme serta mengorbankan semangat kemerdekaan keseluruh lapisan masyarakat. Salah satu aspek penting perkembangan dunia pendidikan pada periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan pendidikan formal. Kuatnya nilai-nilai nasionalisme dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan berhasil melahirkan aktivis-aktivis kemerdekaan dari kalangan pribumi dan membuat gerakan-gerakan sosial politik menjadi lebih terbuka. 
      Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hingga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipegang oleh tokoh-tokoh nasionalis. Mereka menguasai berbagai posisi penting di institusi pemerintahan dan secara aktif dan sistematis menjadikan pendidikan sebagai bagian integral dari proses sosialisasi ideologi negara dan penataan corak kehidupan berbangsa dan bernegara. 
      Periode kelima adalah periode orde baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. pada periode ini pendidikan menjadi instrumen pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organisasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena sekularisasi menjadi salah satu strategi pembangunan nasional pada waktu itu, maka kegiatan pendidikan pada era ini banyak diwarnai oleh kebijakan-kebijakan yang mengarah pada sekularisasi pendidikan. Karena fokus utama pembangunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi, maka pelaksanaan kegiatan kependidikan pada era ini difungsikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi nasional. Karena pendekatan pembangunan pada era ini cenderung indoktrinatif, maka pelaksanaan kegiatan pendidikan pada era ini juga cenderung bersifat indoktrinatif. Strategi, fokus, dan pendekatan pendidikan tersebut dijalankan dengan paradigma sentralisasi. Pada periode ini Mendiknas adalah penguasa tunggal dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan pada era ini ditandai oleh birokrasi yang ketat dan berbelit-belit serta penyeragaman sehingga menghasilkan “keseragaman superfisial” (Jalal & Musthafa 2001, hlm. 11). Menurut Soedijarto (1999), pendidikan di Indonesia pada akhir kekuasaan rezim Orde Baru : belum terencana dengan baik; belum sistematik; belum secara optimal relevan dengan tujuan pendidikan nasional; belum menjadi wahana sosialisasi dan pembudayaan budaya bangsa; belum sejalan dengan perkembangan iptek; belum sejalan dengan tantangan era globalisasi, belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan dan kompetitif; dan belum mampu mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak, berwatak ksatria, dan patriotik.
      Periode keenam adalah periode reformasi yang dimulai pada tahun 1998, seiring dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi menjalar ke semua sektor pembangunan, termasuk sektor pendidikan sehingga menjadi menu utama penataan sistem pendidikan nasional.  

III. Pembagian Hak, Kewajiban, dan Tanggung Jawab
      Dijelaskan pada Pasal 2 (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, bahwa pemerintahan daerah “menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”. Urusan pemerintahan dibagi sedemikian rupa antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dijelaskan pula pada Pasal 10 (1) undang-undang yang sama, bahwa “pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini (Nomor 32 Tahun 2004) ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dijelaskan pada ayat (2) pasal yang sama, bahwa “pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”.
      Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama (lihat Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004). Adapun urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi meliputi : 
perencanaan dan pengadilan pembangunan; 
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 
penyediaan sarana dan prasarana umum; 
penanganan bidang kesehatan; 
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 
pengendalian lingkungan hidup; 
pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten/kota; 
pelayanan kependudukan dan catatan sipil; 
pelayanan administrasi umum pemerintahan; 
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan 
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 13 (1) UU No. 32 Tahun 2004). 
      Selanjutnya yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah untuk kabupaten/kota meliputi :
perencanaan dan pengendalian pembangunan; 
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 
penyediaan sarana dan prasarana umum; 
penanganan bidang kesehatan; 
penyelenggaraan pendidikan; 
penanggulangan masalah sosial; 
pelayanan bidang ketenagakerjaan; 
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 
pengendalian lingkungan hidup; 
pelayanan pertanahan; 
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 
pelayanan administrasi umum pemerintahan; 
pelayanan administrasi penanaman modal; 
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 14 (1) UU No. 32 Tahun 2004). 
      Selain memberikan kewenangan yang luas, kebijakan Otda juga memberikan hak dan kewajiban yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Di antara hak daerah juga adalah : 
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan; 
memilih pimpinan daerah; 
mengelola aparatur daerah; 
mengelola kekayaan daerah; 
memungut pajak daerah dan Retribusi daerah; 
mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; 
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan 
mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 21 UU Nomor 32 Tahun 2004). 
      Adapun yang menjadi kewajiban daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah: 
melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
meningkatkan kehidupan demokrasi; 
mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat; 
mewujudkan keadilan dan pemerataan; 
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; 
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; 
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; 
mengembangkan sistem jaminan sosial; 
menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; 
mengembangkan sumber daya produktif di daerah; 
melestarikan lingkungan hidup; 
mengelola administrasi kependudukan; 
melestarikan nilai sosial budaya; 
membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan 
kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004). 
      Pelaksanaan berbagai kewenangan, hak dan kewajiban di atas mengacu pada beberapa asas umum, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas selalu tunduk dan patuh kepada kemauan dan kepentingan pemerintah pusat, setelah kebijakan Otda pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk berkembang menjadi aparatur yang lebih aktif dan kreatif sehingga tidak hanya menunggu dan memanfaatkan peluang atau kue pembangunan dari pemerintah pusat, tetapi mampu menciptakan peluang sendiri. Hal ini dimungkinkan karena dalam kebijakan otonomi daerah pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menetapkan bentuk organisasi pemerintahan yang diperlukan, merekrut pegawai, mengatur penggunaan dana, dan menyusun regulasi sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
      Faktor penting ketiga dalam proses otonomi daerah adalah tersedianya sumber pendapatan yang dikuasai oleh pemerintah daerah dengan tetap memerlukan subsidi dari pemerintah pusat: “kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah” dan sumber pendapatan daerah terdiri atas tiga sumber utama. Sumber pertama adalah pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari hasil pajak daerah, hasil Retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Sumber kedua adalah dana perimbangan yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sumber ketiga adalah lain-lain pendapatan daerah yang sah, yaitu seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah (lihat Pasal Bab VIII UU Nomor 32 Tahun 2004). Kewenangan pemerintah daerah yang lebih luas dalam pengelolaan dana tentu saja memberi peluang kepada daerah untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan serta memaksimalkan penggunaan dana pembangunan daerah.
      Akan tetapi, di balik kewenangan yang lebih luas tersebut, terdapat beban tanggung jawab yang sangat besar. Apabila gagal memahami keseimbangan antara kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang pendanaan ini, aparat pembangunan di daerah akan mudah terjerumus pada praktik-praktik penyimpangan penggunaan dana. Mungkin inilah yang melatarbelakangai bermunculnya praktik KKN berjamaah di berbagai daerah, yang saat ini membuat para penegak hukum sangat sibuk.
      Dengan ruang lingkup, peran, fungsi, dan kewenangan yang ada pada tiga faktor di atas, kebijakan otonomi daerah membawa perubahan cukup besar pada sistem distribusi kekuasaan dan alokasi keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Jika sebelumnya kekuasaan politik dan pengelolaan keuangan didominasi oleh pemerintah, pada era otonomi daerah kekuasaan tersebut cukup banyak terdistribusi pada pemerintah daerah. Selain memberi peluang bagi upaya mengurangi ketimpangan regional dan ketidakadilan alokasi dana, otonomi daerah memungkinkan berkembangnya desain dan proses pembangunan daerah yang lebih heterogen, efisien, bermutu, dan relevan, serta kontekstual dengan potensi, situasi, dan kebutuhan daerah.  

IV. Pendanaan
      Komitmen bangsa Indonesia, khususnya para wakil rakyat yang ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terhadap perbaikan mutu pendidikan dan keyakinan mereka pada pendidikan sebagai sarana peningkatan kualitas hidup bangsa juga ditunjukkan dengan tingginya komitmen mereka terhadap pendanaan pendidikan. Untuk pertama kali dalam sejarah bangsa ini, konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 mengaskan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” (lihat pasal 31 ayat 4). Persentase alokasi dana pendidikan tersebut juga ditegaskan pada Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan APBD”. Ditegaskan pula bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintahan dan masyarakat (lihat Pasal 1, 5, 11, 41, 46, dan 53), dapat diatur dan dihimpun melalui berbagai sumber, yaitu APBN, APBD, SPP, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain. (Pasal 46 dan 47), dan harus dikelola berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (Pasal 48).
      Skema pendanaan pendidikan tersebut sejalan dengan pesan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.


V. Kesimpulan
Setelah kita mencermati uraian-uraian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan itu merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara terhdap warga negaranya, bahkan pengaturannya pun setiap daerah memilikinya. Namun pada prakteknya tidak semua masyarakat bisa menikmati pendidikan formal, perlu dipertanyakan komitmen pemerintah tentang kewajiban belajar 9 tahun dan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 : “ mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mengenai alokasi anggaran pendidikan yang 20 % itu sebenarnya kalau terrealisasikan dengan baik, itu sudah bisa mengurangi masyarakat yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal. 
Jika kita mencermati apa yang tertulis di Kompas pada tanggal 16 September 2011 kemaren dalam salah satu kolam beritanya yang tertulis “ Pencairan Bos Telat “. Dalam kompas tersebut dijelaskan proses pencairan dan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) triwulan ketiga dibeberapa daerah masih terlambat, dari 497 kabupaten dan kota, hingga kini baru 217 kabupaten dan kota atau 43,7 yang telah mencairkan dana BOS. Dengan begitu berarti masih ada 280 kabupaten dan kota yang belum mencairkan dana BOS. Sungguh ironis sekali, ketika pendidikan itu meupakan hak dasar yag harus dipenuhi oleh negara, dana operasionalnya pun tidak langung cair. Direktur Jendral Pendidikan Dasar Suyanto seperti yang dilansir di kompas, mengaku heran karena proses pencairan dana  BOS triwulan ketiga justru lebih lambat dari triwulan pertama dan kedua, padahal sudah ada surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, tentang Percepatan Pencairan Dana BOS tahun 2011. Dengan demikian pemerintah daerah di nilai lamban dalam proses pencairan dana tersebut, inilah salah satu potret bangsa ini dimana kepentingan selalu mempengaruhi, mulai dari proses perencanaan, pembuatan, pelaksanaan sampai penegakannya.
Selain itu ketidakmampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan alokasi dana untuk sektor pendidikan diperburuk oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan. Sumber-sumber pendanaan pendidikan yang diharapkan datang dari masyarakat, seperti SPP, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, dan sumbangan perusahaan belum befungsi dengan baik. Dana SPP misalnya, belum dapat dioptimalkan mengingat kondisi ekonomi sebagian besar orang tua masih memprihatinkan. Akibatnya, program-program pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang sangat tergantung pada subsidi pemerintah. Dana yang berasal dari sumber lainnya sebagian besar masih tercurah ke sektor sosial keagamaan, seperti pembangunan Mesjid dan bantuan fakir miskin. Kalaupun tercurah ke sektor pendidikan, masih sangat terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, seperti pondok pesantren. Padahal, pendidikan keagamaan hanyalah sebagian kecil dari seluruh lembaga pendidikan yang ada di tanah air.
      Masih ada kecenderungan sebagian besar masyarakat memandang bahwa hibah, wakaf, zakat, dan pembayaran nadzar untuk sektor sosial keagamaan lebih utama (afdhol) dan bermanfaat ketimbang untuk sektor pendidikan. Padahal, tanpa pendidikan yang baik, masyarakat tidak mungkin dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik. Kesadaran masyarakat yang kurang inilah menjadi salah satu penyebab mengapa pendidikan itu terasa mahal. Disamping itu masih kurangnya peran aktif orang tua dalam memeberikan pendidikan dasar dalam keluarga kepada anak-anaknya, dengan anaknya disekolahkan bukan secara otomatis 100% menjadi tanggung jawab pihak sekolah, karena bagaimanapun juga keluarga merupakan pendidikan awal bagi seorang anak untuk membentuk karakternya.
  Berbagai peraturan perundang-undangan bidang pendidikan yang ditetapkan pada era otonomi daerah, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan pergeseran paradigma pendidikan nasional dari education for all (pendidikan untuk semua) ke education from all, by all, and for all (pendidikan dari semua, oleh semua, dan untuk semua). Paradigma pertama memang membuka lebar-lebar akses pendidikan pada semua lapisan masyarakat, namun perencanaan, penyelenggaraan, dan pengevaluasiannya sangat didominasi oleh pemerintah dan pendanaannya sangat tergantung pada subsidi pemerintah.
Dengan demikian Pemerintah Daerah dalam menjalankan kewajibannya untuk pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi masyarakat masih belum efektif.

VI. Saran
alokasikan dengan baik anggaran 20 % untuk pendidikan tersebut.
PEMDA sebaiknya belajar dari pengalaman yang sudah-sudah dalam pencairan dana BOS dari kuartel sebelumnya agar tidak terjadi keterlambatan.
 PEMDA seharusnya memiliki komitmen yang tinggi untuk menyalurkan dana BOS ke sekolah.
PEMDA bekerja sama dengan masyarakat untuk memenuhi hak dasar masyarakat atas pendidikan.

Sumber : 
Rahayu, 2010, Hukum Dan Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
UUD 1945.
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Kompas.
www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar