Minggu, 18 September 2011

EKSISTENSI HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Implementasi Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999)



Oleh:

M. Sanusi

A. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

            Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan kemajemukannya, terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibungkus semangat Bhineka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan dengan modernisasi dan kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang berbeda dalam hal mengikuti alur modernisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi perubahan sosial yang oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga membawa kemajuan dan disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada kelompok masyarakat lain yang disebabkan oleh faktorketerikatan kultur/adat, agama maupun lokasi. Masyarakat yang dideskripsikan terakhir inilah yang disebut dengan Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup terpencil. Walaupun dalam keadaan ketertinggalan dan keterbelakangan mereka tetap memiliki hak sebagai warga negara yang diakui dan dilindungi keberadaan dan kebebasannya untuk tetap hidup dengan nilai-nilai tradisionalnya.  Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh.
        Agar masyarakat hukum adat itu tidak dikatakan terpencil lagi maka Negara harus mengakui eksistensinya dan adanya pembangunan yang merata. Karena pelaksanaan pembangunan sebagai wujud dari pertumbuhan dan perkembangan suatu daerah, tapi pembangunan itu tidak semulus yang diharapkan karena pembangunan itu selalu berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lahan. Hal ini mengakibatkan nilai dan harga lahan terus meningkat sehingga penguasaan atas lahan bagi masyarakat dewasa ini mengalami pergeseran nilai dari fungsi sosial ke fungsi ekonomi, sehinggan lahan merupakan komoditi ekonomi yang harus dikuasai baik secara legal maupun ilegal.
         Pembangunan selalu dijadikan alasan untuk mengambil tanah rakyat, sehingga pemerintah atau penguasa terkadang  sewenang-wenang mengambil tanah rakyat seolah-olah pemerintah mempunyai tanah ulayat. Padahal tanah ulayat bukan milik pemerintah maupun orang-orang tertentu, tapi tanah ulayat itu dimiliki oleh suku atau kelompok adat tertentu dimana tanah ulayat itu berada. Eksistensi tanah ulayat itu sendiri pun sudah diatur dalam regulasi nasional, salah satunya pasal 3 UUPA disitu disebutkan bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga sah menurut hukum, oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya. Akan tetapi dalam prakteknya pemerintah sering sekali bersikap tidak adil kepada masyarakat hukum adat dengan cara mengambil alih tanah adat, tanpa melalui pelepasan adat atau minta izin (persetujuan) dari masyarakat hukum adat. Hal itu dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah ulayat atau untuk melakukan kegiatan pembangunan lainnya.


II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan masalah sebagai berikut: 
  1. Bagaimana ekstensi hak ulayat itu sendiri dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, apakah sudah benar-benar diakui dan dihormati atau hanya sekedar pengakuan secara tertulis begitu saja tanpa diikuti dengan tindakan yang tegas dari pemerintah (kaitannya dengan pembangunan)?
  2. Bagaimana implementasi pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Apakah sudah diterapkan sebagaimana mestinya atau belum?




C. PEMBAHASAN

I. Eksistensi Hak Ulayat Dalam Hukum Indonesia

Sebelum membahas tentang eksistensi Hak Ulayat di Indonesia (Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya), maka perlu kiranya kita mengetahui apa yang dimasksud dengan hak ulayat itu.
Dalam literatur hukum adat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, bahwa ynag dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht, yang menggambarkan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya tersebut. Oleh karena itu ada 2 (dua) hal yang menyebabkan tanah tersebut mempunyai kedudukan sangat penting dalam hukum adat, yaitu:
  • Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan jika terjadi perubahan akan menjadi lebih menguntungkan. Misalnya akibat banjir maupun letusan gunung, tanah dapat menjadi subur.
  • Karena faktanya, bahwa tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan penghidupan bagi masyarakat hukum adat, tempat pemakaman leluhurnya, serta tempat tinggal roh leluhur masyarakat hukum adat tersebut.

Kemudian menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
Mengenai Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya yaitu telah diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, sehingga kalau dijabarkan peraturan perundang-undangan yaitu seperti yang disebutkan dibawah ini:
  • UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, berbunyi : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 
  • UUD 1945 Amandemen II, III, IV, dalam hal perubahan pasal 18 dan penambahan pasal 18A dan 18B serta Pasal 28 I ayat 3.Pasal 18 ayat 5, berbunyi :“ Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah clan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.” 
  • Pasal 18A, berbunyi :“ Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.” 
  • Pasal 18B, terdiri atas dua ayat : Ayat 1:“ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Ayat 2:“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat clan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
  • Pasal 28 I ayat 3: “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” 
  • Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan SDA, Pasal 4 : “ Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ayat (j), yaitu: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/alam. “
  • UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria. Pasal 3 berbunyi : “ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.” 
  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Pasal 5 ayat 3 : “ Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”  Pasal 6 ayat 1 dan 2 :  Ayat 1 : Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. 

       Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional pasal 1, berisi tentang pengertian atas hak Ulayat, tanah ulayat, dan batasan pengertian tentang masyarakat hukum adat (sebagaimana istilah yang terdapat dalam pasal 3 UUPA). 
Hak Ulayat atau beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat, adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun,dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.  
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga syarat: 
  • Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
  • Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.
  • Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

Maria S.W. Sumardjono, menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu:
  • Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat;
  • Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai ebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat;
  • Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.



II. Implementasi Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999, menyatakan bahwa “Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.” 
        Mengenai jangka waktu dari HGU/HP itu sendiri telah diatur dalam UUPA
  • HGU diatur dalam pasal 29 ayat (1), (2) dan (3), HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 Tahun, untuk perusahaan yang membutuhkan waktu yang lebih lama diberikan waktu paling lama 35 tahun, dapat di perpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun.
  • HP diatur dalam pasal 41 ayat (2), HP diberikan selama waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa atau apapun.

Setelah mempelajari kedua aturan diatas, terlihat jelas bahwa jangka waktu HGU itu sudah ditentukan, namun jangka waktu HP itu tidak dirincikan secara jelas. Kemudian terkait dengan hak ulayat (dalam Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999) ditentukan bahwa kalau pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan HGU/HP terhadap tanah ulayat kepada Badan Hukum Swasta ataupun Pemerintah, harus diikuti dengan persetujuan dari Masyarakat Hukum Adat. Namun dalam praktek ketentuan tersebut di atas sering kali disimpangi, dimana pelepasan tanah ulayat itu tidak diikuti dengan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari masyarakat hukum adat tapi cukup dengan kesepakatan antara pengusaha tentang pemerintah saja. Hal ini berdasarkan pengamatan pada kasus tanah ulayat di daerah Rokan Hulu (Riau), dimana pada waktu pemberian HGU terhadap salah satu Badan Hukum Swasta yang bergerak di bidang perkebunan, awalnya memang minta persetujuan atau izin dari Masyarakat Hukum Adat setempat, tetapi setelah jangka waktu pemberian berakhir untuk perpanjangannya tidak lagi minta persetujuan pada Masyarakat Hukum Adat. Apalagi untuk saat sekarang ini  Badan Hukum Swasta tersebut memperluas lahannya dengan status Hak Pakai, yang dalam pemberiannya tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat.
           Dengan melihat kasus tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 itu pada implentasinya tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Hal ini tidak terlepas karena kebutuhan akan tanah baik untuk keperluan pembangunan yang dilakukan oleh badan hukum swasta maupun badan hukum publik, serta sekedar memenuhi tuntutan hidup orang-perorangan, dalam perkembangannya dirasa semakin meningkat. Padahal dalam realitas penduduk semakin bertambah, sedangkan tanah cenderung semakin menyempit. Sementara tanah negara dapat dikatakan hampir tidak ada lagi, sehingga hal demikian berpotensi menimbulkan konflik hak ulayat masyarakat hukum adat, baik antara masyarakat hukum adat tertentu dengan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan (konflik vertikal), maupun antara masyarakat hukum adat dengan badan hukum swasta, termasuk antara masyarakat hukum adat (konflik horisontal). Berbagai kasus tentang tanah ulayat yang timbul dalam skala regional maupun nasional, tidak akan memperoleh penyelesaian secara tuntas tanpa adanya kriteria obyektif yang diperlukan sebagai tolok ukur penentu keberadaan hak ulayat. 
Di berbagai daerah telah terjadi rangkaian pelanggaran hak masyarakat adat dengan pola yang kurang lebih sama, di Wasior, Wamena, Merauke (Papua), Bulukumba (Sulawesi Selatan), Manggarai (NTT), Rokan Hulu (Riau), dan di Kampung halaman Suku Anak Dalam (Jambi), Semunying (Bengakayang Kalbar), Sintang dan Sanggau, Ketapang.


D. PENUTUP 
Kesimpulan
       Akhirnya berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan, antara lain:
  1. Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan perairan serta isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah dan perairan serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan kepala adat.
  2. Hak ulayat eksistensi telah diakui dalam peraturan perundang-undangan indonesia, seperti yang telah di jelaskan sebelumnya. Namun aturan-aturan tersebut tidak merumuskan hak ulayat secara tegas dan jelas. Dalam pengakuan eksistensi Hak Ulayat, terdapat batasan-batasan yang diatur dalam Pasal 3 UUPA, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya.
  3. Implementasi dari Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999, dalam praktek ketentuan ini banyak disimpangi, yang mana dalam pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan HGU/HP terhadap tanah ulayat kepada Badan Hukum Swasta ataupun Pemerintah, tidak diikuti dengan persetujuan dari Masyarakat Hukum Adat.
  4. Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam implementasinya masih harus dibangun komitmen terhadap pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam berbagai regulasi, seperti UU lingkungan hidup, UU kehutanan, UU Transmigrasi dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA

Agung Basuki Prasetyo, Juli 2010, Hak Ulayat Sebagai Hak Konstitusional (Suatu Kajian Yuridis Empiris), Masalah-Masalah Hukum Jilid 39 No. 2, Fakultas Hukum UNDIP.

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.

Maria S.W. Sumardjono, 2005,“Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi” (Penerbit Kompas, Jakarta).

Surojo Wignyodipuro, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945 Amandemen
UU No. 5 Tahun 1960
UU No. 39 Tahun 1999
Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001
PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar