Minggu, 18 September 2011

EKSISTENSI HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Implementasi Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999)



Oleh:

M. Sanusi

A. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

            Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan kemajemukannya, terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibungkus semangat Bhineka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan dengan modernisasi dan kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang berbeda dalam hal mengikuti alur modernisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi perubahan sosial yang oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga membawa kemajuan dan disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada kelompok masyarakat lain yang disebabkan oleh faktorketerikatan kultur/adat, agama maupun lokasi. Masyarakat yang dideskripsikan terakhir inilah yang disebut dengan Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup terpencil. Walaupun dalam keadaan ketertinggalan dan keterbelakangan mereka tetap memiliki hak sebagai warga negara yang diakui dan dilindungi keberadaan dan kebebasannya untuk tetap hidup dengan nilai-nilai tradisionalnya.  Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh.
        Agar masyarakat hukum adat itu tidak dikatakan terpencil lagi maka Negara harus mengakui eksistensinya dan adanya pembangunan yang merata. Karena pelaksanaan pembangunan sebagai wujud dari pertumbuhan dan perkembangan suatu daerah, tapi pembangunan itu tidak semulus yang diharapkan karena pembangunan itu selalu berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lahan. Hal ini mengakibatkan nilai dan harga lahan terus meningkat sehingga penguasaan atas lahan bagi masyarakat dewasa ini mengalami pergeseran nilai dari fungsi sosial ke fungsi ekonomi, sehinggan lahan merupakan komoditi ekonomi yang harus dikuasai baik secara legal maupun ilegal.
         Pembangunan selalu dijadikan alasan untuk mengambil tanah rakyat, sehingga pemerintah atau penguasa terkadang  sewenang-wenang mengambil tanah rakyat seolah-olah pemerintah mempunyai tanah ulayat. Padahal tanah ulayat bukan milik pemerintah maupun orang-orang tertentu, tapi tanah ulayat itu dimiliki oleh suku atau kelompok adat tertentu dimana tanah ulayat itu berada. Eksistensi tanah ulayat itu sendiri pun sudah diatur dalam regulasi nasional, salah satunya pasal 3 UUPA disitu disebutkan bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga sah menurut hukum, oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya. Akan tetapi dalam prakteknya pemerintah sering sekali bersikap tidak adil kepada masyarakat hukum adat dengan cara mengambil alih tanah adat, tanpa melalui pelepasan adat atau minta izin (persetujuan) dari masyarakat hukum adat. Hal itu dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah ulayat atau untuk melakukan kegiatan pembangunan lainnya.


II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan masalah sebagai berikut: 
  1. Bagaimana ekstensi hak ulayat itu sendiri dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, apakah sudah benar-benar diakui dan dihormati atau hanya sekedar pengakuan secara tertulis begitu saja tanpa diikuti dengan tindakan yang tegas dari pemerintah (kaitannya dengan pembangunan)?
  2. Bagaimana implementasi pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Apakah sudah diterapkan sebagaimana mestinya atau belum?




C. PEMBAHASAN

I. Eksistensi Hak Ulayat Dalam Hukum Indonesia

Sebelum membahas tentang eksistensi Hak Ulayat di Indonesia (Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya), maka perlu kiranya kita mengetahui apa yang dimasksud dengan hak ulayat itu.
Dalam literatur hukum adat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, bahwa ynag dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht, yang menggambarkan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya tersebut. Oleh karena itu ada 2 (dua) hal yang menyebabkan tanah tersebut mempunyai kedudukan sangat penting dalam hukum adat, yaitu:
  • Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan jika terjadi perubahan akan menjadi lebih menguntungkan. Misalnya akibat banjir maupun letusan gunung, tanah dapat menjadi subur.
  • Karena faktanya, bahwa tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan penghidupan bagi masyarakat hukum adat, tempat pemakaman leluhurnya, serta tempat tinggal roh leluhur masyarakat hukum adat tersebut.

Kemudian menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
Mengenai Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya yaitu telah diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, sehingga kalau dijabarkan peraturan perundang-undangan yaitu seperti yang disebutkan dibawah ini:
  • UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, berbunyi : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 
  • UUD 1945 Amandemen II, III, IV, dalam hal perubahan pasal 18 dan penambahan pasal 18A dan 18B serta Pasal 28 I ayat 3.Pasal 18 ayat 5, berbunyi :“ Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah clan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.” 
  • Pasal 18A, berbunyi :“ Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.” 
  • Pasal 18B, terdiri atas dua ayat : Ayat 1:“ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Ayat 2:“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat clan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
  • Pasal 28 I ayat 3: “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” 
  • Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan SDA, Pasal 4 : “ Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ayat (j), yaitu: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/alam. “
  • UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria. Pasal 3 berbunyi : “ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.” 
  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Pasal 5 ayat 3 : “ Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”  Pasal 6 ayat 1 dan 2 :  Ayat 1 : Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. 

       Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional pasal 1, berisi tentang pengertian atas hak Ulayat, tanah ulayat, dan batasan pengertian tentang masyarakat hukum adat (sebagaimana istilah yang terdapat dalam pasal 3 UUPA). 
Hak Ulayat atau beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat, adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun,dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.  
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga syarat: 
  • Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
  • Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.
  • Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

Maria S.W. Sumardjono, menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu:
  • Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat;
  • Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai ebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat;
  • Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.



II. Implementasi Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999, menyatakan bahwa “Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.” 
        Mengenai jangka waktu dari HGU/HP itu sendiri telah diatur dalam UUPA
  • HGU diatur dalam pasal 29 ayat (1), (2) dan (3), HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 Tahun, untuk perusahaan yang membutuhkan waktu yang lebih lama diberikan waktu paling lama 35 tahun, dapat di perpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun.
  • HP diatur dalam pasal 41 ayat (2), HP diberikan selama waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa atau apapun.

Setelah mempelajari kedua aturan diatas, terlihat jelas bahwa jangka waktu HGU itu sudah ditentukan, namun jangka waktu HP itu tidak dirincikan secara jelas. Kemudian terkait dengan hak ulayat (dalam Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999) ditentukan bahwa kalau pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan HGU/HP terhadap tanah ulayat kepada Badan Hukum Swasta ataupun Pemerintah, harus diikuti dengan persetujuan dari Masyarakat Hukum Adat. Namun dalam praktek ketentuan tersebut di atas sering kali disimpangi, dimana pelepasan tanah ulayat itu tidak diikuti dengan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari masyarakat hukum adat tapi cukup dengan kesepakatan antara pengusaha tentang pemerintah saja. Hal ini berdasarkan pengamatan pada kasus tanah ulayat di daerah Rokan Hulu (Riau), dimana pada waktu pemberian HGU terhadap salah satu Badan Hukum Swasta yang bergerak di bidang perkebunan, awalnya memang minta persetujuan atau izin dari Masyarakat Hukum Adat setempat, tetapi setelah jangka waktu pemberian berakhir untuk perpanjangannya tidak lagi minta persetujuan pada Masyarakat Hukum Adat. Apalagi untuk saat sekarang ini  Badan Hukum Swasta tersebut memperluas lahannya dengan status Hak Pakai, yang dalam pemberiannya tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat.
           Dengan melihat kasus tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 itu pada implentasinya tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Hal ini tidak terlepas karena kebutuhan akan tanah baik untuk keperluan pembangunan yang dilakukan oleh badan hukum swasta maupun badan hukum publik, serta sekedar memenuhi tuntutan hidup orang-perorangan, dalam perkembangannya dirasa semakin meningkat. Padahal dalam realitas penduduk semakin bertambah, sedangkan tanah cenderung semakin menyempit. Sementara tanah negara dapat dikatakan hampir tidak ada lagi, sehingga hal demikian berpotensi menimbulkan konflik hak ulayat masyarakat hukum adat, baik antara masyarakat hukum adat tertentu dengan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan (konflik vertikal), maupun antara masyarakat hukum adat dengan badan hukum swasta, termasuk antara masyarakat hukum adat (konflik horisontal). Berbagai kasus tentang tanah ulayat yang timbul dalam skala regional maupun nasional, tidak akan memperoleh penyelesaian secara tuntas tanpa adanya kriteria obyektif yang diperlukan sebagai tolok ukur penentu keberadaan hak ulayat. 
Di berbagai daerah telah terjadi rangkaian pelanggaran hak masyarakat adat dengan pola yang kurang lebih sama, di Wasior, Wamena, Merauke (Papua), Bulukumba (Sulawesi Selatan), Manggarai (NTT), Rokan Hulu (Riau), dan di Kampung halaman Suku Anak Dalam (Jambi), Semunying (Bengakayang Kalbar), Sintang dan Sanggau, Ketapang.


D. PENUTUP 
Kesimpulan
       Akhirnya berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan, antara lain:
  1. Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan perairan serta isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah dan perairan serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan kepala adat.
  2. Hak ulayat eksistensi telah diakui dalam peraturan perundang-undangan indonesia, seperti yang telah di jelaskan sebelumnya. Namun aturan-aturan tersebut tidak merumuskan hak ulayat secara tegas dan jelas. Dalam pengakuan eksistensi Hak Ulayat, terdapat batasan-batasan yang diatur dalam Pasal 3 UUPA, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya.
  3. Implementasi dari Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999, dalam praktek ketentuan ini banyak disimpangi, yang mana dalam pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan HGU/HP terhadap tanah ulayat kepada Badan Hukum Swasta ataupun Pemerintah, tidak diikuti dengan persetujuan dari Masyarakat Hukum Adat.
  4. Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam implementasinya masih harus dibangun komitmen terhadap pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam berbagai regulasi, seperti UU lingkungan hidup, UU kehutanan, UU Transmigrasi dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA

Agung Basuki Prasetyo, Juli 2010, Hak Ulayat Sebagai Hak Konstitusional (Suatu Kajian Yuridis Empiris), Masalah-Masalah Hukum Jilid 39 No. 2, Fakultas Hukum UNDIP.

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.

Maria S.W. Sumardjono, 2005,“Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi” (Penerbit Kompas, Jakarta).

Surojo Wignyodipuro, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945 Amandemen
UU No. 5 Tahun 1960
UU No. 39 Tahun 1999
Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001
PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999

Sabtu, 17 September 2011

KEBUDAYAAN DALAM ERA MODERNISASI (Suatu Tinjauan Pada Acara Adat Jalang Menjalang di Desa Kabun)




Oleh:

M. Sanusi
A. Kebudayaan
        Istilah kebudayaan sering kali dikaitkan atau bahkan saling tumpang tindih dengan istilah Culture, dan atau peradaban (Civilization). ada sementara ahli yang menganggap bahwa istilah culture memiliki nuansa arti yang berbeda dengan kebudayaan, sehingga tetap berpegang teguh bahwa kebudayaan dengan adalah dua pengertian yang berbeda.
      Menurut Koentjaraningrat (bapak antropologi hukum Indonesia). kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "kekal".
Culture adalah kata asing yang berasal dari kata dalam bahasa latin colere (yang berarti "mengolah", "mengerjakan", dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan kebudayaan, yang kemudian berkembang maknanya menjadi "segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.
       Peradaban dalam bahasa inggrisnya adalah civilization, seringkali dipakai untuk menyebut bagian-bagian serta unsur-unsur yang halus, maju, indah, seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun, serta pergaulan kepandaian menulis, organisasi bernegara, dan lain-lain.
      Menurut Koentjaraningrat (1996; 80), dalam menganalisa suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang sudah terintegrasi kedalam unsur-unsur besar yang disebut "unsur-unsur kebudayaan universal" Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat. 1996; 80-81), mengemukakan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang disebut sebagai isi pokok dari setiap kebuadayaan, yaitu:
1. bahasa
2. sistem organisasi
3. organisasi sosial
4. sistem peralatan hidup dan teknologi
5. sistem mata pencaharian hidup
6. sistem religi
7. kesenian.

B. Modernisasi
        Di era modernisasi dan globalisasi ini, bangsa-bangsa di dunia tidak dapat menutup diri dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Pergaulan itu membawa pengaruh bagi bangsa yang berinteraksi. 
1. Pengertian Modernisasi 
        Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi berdasar pendapat para ahli adalah sebagai berikut:
  • Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis.
  • Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar) 

         Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut.
  • Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
  • Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.
  • Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
  • Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
  • Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
  • Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
  • Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
  • Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial. 


2. Dampak Modernisasi terhadap Perubahan Sosial dan Budaya
a. Dampak Positif
           Dampak positif modernisasi dan globalisasi tersebut sebagai berikut.
  • Perubahan Tata Nilai dan Sikap . Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
  • Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
  • Tingkat Kehidupan yang lebih Baik. Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

b. Dampak Negatif
           Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
  • Pola Hidup Konsumtif. Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
  • Sikap Individualistik. Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
  • Gaya Hidup Kebarat-baratan. Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
  • Kesenjangan Sosial. Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.


C. Salah Satu Kearifan Lokal Indonesia Yang Masih Bertahan Di Era Modernisasi

           Di masa yang serba modern saat ini, apakah segala hal yang mengandung masa lalu (tradisi) masih diperlukan? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan yang demikian. Di satu sisi, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang senantiasa mengalami perkembangan, bahkan begitu pesat pergerakannya. Sementara di lain sisi, masyarakat tidak lahir dari budaya yang kosong.
Namun, tidak dapat pula dibantah bahwa kearifan tradisi kerap pula diabaikan masyarakat modern. Segala hal yang sangkut-menyangkut dengan tradisi dianggap sekedipan mata. Padahal, ibarat pakaian, tentu budaya masa lampau tidak serta merta harus dikenakan secara terus-menerus. Dengan kata lain, masa lampau (tradisi) adalah harus tetap dilestarikan.
             Salah satu contoh dari sekian banyak Masyarakat Adat yang ada di Indonesia, Penulis mengambil potret dar Masyarakat Adat yang ada di salah satu Desa yang berada di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau, yaitu Desa Kabun. Masyarakat Desa Kabun, Keacamatan Kabun, Kabupaten Rokan Hulun, Riau, sejak dari dahulu kala, setiap tahun tepatnya pada Hari Raya Idul Fitri selalu mengadakan serangkaian Acara Adat yang dinamakan dengan Jalang Menjalang dan ini terus berlangsung hingga saat ini. berikut ini salah satu foto arak-arakan (iring-iringan) Jalang Menjalang dan foto Ninik Mamak Pemangku Adat (pucuk adat dan datuk-datuk kepala suku) 




     
            Acara Adat Jalang Menjalang ini biasanya dilaksanakan pada hari kedua idul fitri. acara yang ada di daerah Riau khususnya Rokan Hulu ini bisa dikatakan hanya beberapa daerah yang masih mempertahankan dan membudayakannya, padahal itu merupakan kekayaan budaya bangsa yang harus tetap dipertahankan. Prosesi Acara Adat Jalang Menjalang diawali pada pukul 08.00 WIB yang diikuti oleh Ninik Mamak, tokoh masyarakat,alim ulama dan anak kemanakan, titik awal dimulainya acara yaitu dari salah satu rumah anak kemanakan yang telah disepakati bersama antara datuk kepala suku menuju rumah tiap-tiap rumah soko datuk kepala suku yaitu terdiri dari:
Datuk paduko rajo 
Datuk paduko tuan
Datuk majo kayo
Datuk majoendo
Datuk jalelo
Datuk nuanso
Datuk pucuk adat 
       Selain itu yang menjadi tempat tujuan acara ini juga termasuk kantor kepala desa, serta diakhiri di mesjid. Dalam prosesi acaranya ada beberapa orang perempuan yang membawa makanan-makanan ringan lebaran yang diletakkan dalam Jambau (tempat makanan-makanan ringan yang diletakkan di atas kepala), yang nantinya akan dihidangkan kepada peserta acara disetiap tempat yang disinggahi, serta para Ninik mamak, tokoh masyarakat, alim ulama dan anak kemanakan yang beriringan mengucapkan pujia-pujian kepada Allah SWT, yang diucapkan dalam bentuk dikiuw (bahasa daerah) atau kata lainnya Dzikir, badikiuw (berdzikir) ini diiringi dengan alat musik yang dinamakan Gobano (jenis alat musik yang hampir sama dengan rebana), yang dimainkan dengan cara di pukul.
       Peserta acara yang berbentuk rombongan akan berjalan dari tempat awal menuju rumah masing-masing ninik mamak, kantor kepala desa, dan mesjid. Perempuan yang membawa jambau merupakan barisan yang paling depan yang berbaris memanjang, kemudian dibelakangnya barulah diikuti oleh iringan dikiuw (dzikir) yang dilantunkan oleh para Ninik Mamak dan peserta lainnya. Di setiap rumah / tempat yang disinggahi oleh rombongan peserta akan dilakukan penghidangan makanan oleh para perampuan yang membawa jambau, dilanjutkan dengan kata sambutan dari ninik mamak yang merupakan kepala suku dari rumah soko anak kemenakan tersebut, kalau di kantor desa, kata sabutannya dari Kepala desa, dan di Mesjid kata sambutannya dari para alim ulama. Pada saat yang sama juga dilakukan adu silat yang dilakukan oleh anak kemenakan yang memberikan hiburan kepada para pengunjung.
     Kemudian rangkaian acara adat jalang menjalang ditutup di tempat tujuan akhir yaitu di Mesjid Almuawwanah Desa Kabun, dalam prosesi acara adat tersebut nuansa Islaminya sangat kental. hal ini selaras dengan pepatah adat yaitu : "Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah", yang bermaksud, adat di Desa Kabun bersendi pada hukum Islam dan hukum Islam bersendikan pada Al Qur'an.

D. Kesimpulan 
      Berbicara kebudayaan dalam era modernisasi, mungkin yang terlintas di pikiran kita adalah pengaruh modernisasi itu sendiri bagi kebudayaan. menurut hemat Penulis hal ini sangat bergantung dengan bagaimana kita memandangnya. Ada dua pandangan yang berbeda disini. satu pihak orang memandang perlu ada perubahan-perubahan dalam sebuah kebudayaan agar mampu menjawab kebutuhan zaman. Sementara di lain pihak ada pandangan bahwa budaya tidak boleh berubah atau harga mati.
     Walaupun demikian menurut penulis tidak selalu modernisasi itu berdampak negatif terhadap kelangsungan suatu kebudayaan, salah satu contoh misalnya Dalam sebuah pelestarian. Modernisasi memberikan manfaat yang cukup positif bagi sebuah pelestarian kebudayaan. Ada file-file dan rekaman-rekaman yang tersimpan dengan baik dan ada benda-benda atau komoditi utama dalam sebuah kebudayaan tersebut yang juga terawat dengan sistem dan mekanisasi yang tidak ada dalam budaya tersebut (sistem dan mekanisasi terbaru/modern).
     Kita sebagai bangsa yang kaya akan nilai-nilai budayanya sudah merupakan kewajiban kita untuk menjaga dan melestarikan budaya tersebut, bukan mempermasalahkan modernisasi itu sendiri karena bagaimana pun juga baik buruknya baik buruknya modernisasi itu sendiri tergantung pada manusianya.  Dan untuk Masyarakat Adat yang masih menjalankan Hukum Adat dan acara-acara adatnya, tetap dipertahankan. Serta harapannya kedepan bagi Masyarakat Kabun, hendaknya acara adat Jalang Menjalang tersebut masih tetap dilestarikan, agar salah satu aspek kekayaan bangsa ini tetap terjaga. Karena acara seperti ini membawa misi yang sangat mulia yaitu tetap terjalinnya ukkuwah silaturrahmi antar sesama muslim.

Sumber:
Koentjaraningrat, 1996, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta
Koentjoroningrat, 1929,  Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
http://chi-lophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN




Oleh:

M. Sanusi

I. Pendidikan Merupakan Hak Asasi Manusia  
      Hak atas Pendidikan adalah merupakan salah satu hak asasi manusia yang diatur dalam instrumen internasional hak asasi manusia khususnya International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights 1966 (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melaui Undang-undang Nomor 11 tahun 2005; maupun konstitusi negara Republik Indonesia (UUD 1945), dan merupakan hak yang tidak bisa diabaikan oleh negara. Sesungguhnya HAM yang tergolong sebagai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya telah tertuang dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 yang kemudian dielaborasikan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966. Kovenan tersebut terdiri dari 31 pasal yang terbagi ke dalam 6 bagian. Inti Kovenan tersebut dalam Bagian III (Pasal 6-Pasal 15), yang menyebutkan hak-hak yang dilindungi, yaitu : 
Hak atas Pekerjaan, termasuk hak setiap orang untuk memiliki kesempatan mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas (Pasal 6); 
Hak atas kondisi kerja yang layak (Pasal 7); 
Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (Pasal 8); 
Hak atas jaminan sosial (Pasal 9); 
Hak atas perlindungan bagi keluarga (Pasal 10); 
Hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan tempat tinggal (Pasal 11); 
Hak atas kesehatan (Pasal 12); 
Hak atas pendidikan (Pasal 13 dan Pasal 14); 
Hak atas kebudayaan (Pasal 15); 
      DUHAM 1948 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966 membawa konsekuensi bagi suatu Negara untuk mengimplementasikan hak-hak yang terkandung di dalam dua instrumen tersebut, salah satunya adalah hak atas pendidikan yang merupakan fokus kajian ini. Pendidikan adalah hak asasi manusia yang sekaligus sarana untuk merealisasikan HAM lainnya. Pendidikan adalah sarana utama dimana orang dewasa dan anak-anak yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat dirinya keluar dari kemiskinan serta memperoleh cara untuk turut terlibat dalam komunitasnya. Pendidikan juga berperan penting dalam rangka memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan seksual, dan mempromosikan HAM dan demokrasi. 
      Dari klasifikasi pasal-pasal tersebut di atas tampak bahwa dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966 terdapat dua pasal mengenai hak untuk menikmati pendidikan, yaitu Pasal 13 dan pasal 14. Pasal 13 memuat ketentuan yang paling komprehensif dan meliputi banyak hal mengenai hak untuk menikmati pendidikan.
Pasal 13: 
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengaku hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, memajukan pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan kegiatan Perserikatan bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian. 
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui, bahwa dengan tujuan untuk mencapai perwujudan sepenuhnya hak ini: 
pendidikan dasar harus bersifat wajib dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; 
pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan, harus secara umum tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; 
pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semua orang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; 
pendidikan fundamental harus didorong atau diintensifkan sejauh mungkin bagi orang-orang yang belum pernah mendapatkan atau belum menyelesaikan seluruh pendidikan dasar mereka; 
pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk, dan kondisi materiil staf pengajar harus terus-menerus diperbaiki. 
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali murid yang sah untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka, selain sekolah yang didirikan oleh lembaga pemerintah,  sepanjang sekolah tersebut memenuhi standar pendidikan minimum sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh pemerintah negara yang bersangkutan, dan untuk melindungi pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. 
Tidak satu pun ketentuan dalam pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk mencampuri kebebasan individu dan bukan untuk mendirikan dan mengurus lembaga pendidikan, sepanjang prinsip-prinsip yang dikemukakan dalam ayat 1 pasal ini selalu diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga tersebut memenuhi standar minimum yang telah ditetapkan oleh Negara yang bersangkutan. 
Pasal 14: Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, yang pada saat menjadi pihak belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cuma-cuma di wilayah perkotaan atau wilayah lainnya, berjanji, dalam jangka waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci untuk pelaksanaan bertahap prinsip wajib belajar secara cuma-cuma bagi semua orang, dalam jumlah tahun yang harus ditetapkan dalam rencara tersebut. 
     Dalam perspektif hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara berkewajiban memenuhi dan menghormati HAM, termasuk hak atas pendidikan. Kegagalan melaksanakan kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM. Kewajiban untuk menghormati (to respect) mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam hal dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kewajiban untuk memenuhi (to fullfil) mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, alokasi anggaran, hukum dan semua tindakan lain yang memadai guna melaksanakan sepenuhnya semua hak tersebut.
      Pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terjadi ketika negara menempuh lewat perbuatan atau tidak melakukan perbuatan, suatu kebijakan atau praktek yang secara sengaja menolak atau mengabaikan kewajiban yang ada dalam kovenan, atau gagal mencapai standar pelaksanaan atau pencapaian yang diwajibkan. Setiap diskriminasi yang didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau paham lain, asal bangsa dan kelompok sosial, kekayaan, kelahiran dan status lain dengan tujuan atau pengaruh yang menghapuskan atau menghalangi pemenuhan atau pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang setara, merupakan pelanggaran terhadap Kovenan.

II. Periode Perkembangan Pendidikan di Indonesia
      Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa periode perkembangan yang dinamis dan memperlihatkan kompleksitas hubungan antara pendidikan dan politik. Setiap periode ditandai oleh adanya infiltrasi politik terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan dan implikasi sistem pendidikan terhadap dinamika politik. Sketsa penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dapat dibagi menjadi enam periode perkembangan. 
          Periode pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang berlangsung hingga pertengahan tahun 1800-an. Pada periode ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan pengembangan keterampilan hidup. Penyelenggaraan pendidikan pada periode ini dikelola dan dikontrol oleh tokoh-tokoh agama. Mereka memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan, bagaimana dan di mana pembelajaran dilakukan, dan siapa yang berhak dan tidak berhak atas program pendidikan tertentu. Kegiatan pendidikan menjadi bagian integral dari kegiatan keagamaan. Nilai-nilai agama menjadi acuan dasar penyelenggaraan pendidikan dan kegiatan kependidikan menjadi sarana utama untuk memahami, mengamalkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai agama. 
      Periode kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun 1980-an hingga tahun 1945. Pada periode ini penyelenggaraan pendidikan di tanah air diwarnai oleh proses modernisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan pemerintahan kolonial dan aktivitas berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme. Kegiatan pendidikan diarahkan pada upaya mendiseminasi nilai-nilai modernisasi dan sekularisasi di kalangan pribumi dan mencetak para pekerja yang dapat dieksploitasi untuk mendukung misi sosial, politik, dan ekonomi pemerintah kolonial. Di pihak lain, para aktivis gerakan kemerdekaan, baik dari kalangan agama maupun kalangan sekular, berusaha sekuat tenaga mendesain dan mengembangkan kegiatan pendidikan yang dapat membuka mata hati dan pikiran kaum pribumi terhadap berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap mereka sehingga memiliki kesadaran dan keberanian untuk bangkit melawan penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka serta berdaulat. 
      Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945. Pada periode  ini gerakan kemerdekaan sudah menyebar ke seluruh pelosok negeri dan telah menjadi kekuatan politik yang cukup kuat untuk menentukan arah perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk bidang pendidikan. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan pada upaya mendesiminasi nilai-nilai dan semangat nasionalisme serta mengorbankan semangat kemerdekaan keseluruh lapisan masyarakat. Salah satu aspek penting perkembangan dunia pendidikan pada periode ini adalah dimulainya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan pendidikan formal. Kuatnya nilai-nilai nasionalisme dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan berhasil melahirkan aktivis-aktivis kemerdekaan dari kalangan pribumi dan membuat gerakan-gerakan sosial politik menjadi lebih terbuka. 
      Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hingga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipegang oleh tokoh-tokoh nasionalis. Mereka menguasai berbagai posisi penting di institusi pemerintahan dan secara aktif dan sistematis menjadikan pendidikan sebagai bagian integral dari proses sosialisasi ideologi negara dan penataan corak kehidupan berbangsa dan bernegara. 
      Periode kelima adalah periode orde baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. pada periode ini pendidikan menjadi instrumen pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organisasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena sekularisasi menjadi salah satu strategi pembangunan nasional pada waktu itu, maka kegiatan pendidikan pada era ini banyak diwarnai oleh kebijakan-kebijakan yang mengarah pada sekularisasi pendidikan. Karena fokus utama pembangunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi, maka pelaksanaan kegiatan kependidikan pada era ini difungsikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi nasional. Karena pendekatan pembangunan pada era ini cenderung indoktrinatif, maka pelaksanaan kegiatan pendidikan pada era ini juga cenderung bersifat indoktrinatif. Strategi, fokus, dan pendekatan pendidikan tersebut dijalankan dengan paradigma sentralisasi. Pada periode ini Mendiknas adalah penguasa tunggal dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan pada era ini ditandai oleh birokrasi yang ketat dan berbelit-belit serta penyeragaman sehingga menghasilkan “keseragaman superfisial” (Jalal & Musthafa 2001, hlm. 11). Menurut Soedijarto (1999), pendidikan di Indonesia pada akhir kekuasaan rezim Orde Baru : belum terencana dengan baik; belum sistematik; belum secara optimal relevan dengan tujuan pendidikan nasional; belum menjadi wahana sosialisasi dan pembudayaan budaya bangsa; belum sejalan dengan perkembangan iptek; belum sejalan dengan tantangan era globalisasi, belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki keunggulan dan kompetitif; dan belum mampu mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak, berwatak ksatria, dan patriotik.
      Periode keenam adalah periode reformasi yang dimulai pada tahun 1998, seiring dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi menjalar ke semua sektor pembangunan, termasuk sektor pendidikan sehingga menjadi menu utama penataan sistem pendidikan nasional.  

III. Pembagian Hak, Kewajiban, dan Tanggung Jawab
      Dijelaskan pada Pasal 2 (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, bahwa pemerintahan daerah “menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”. Urusan pemerintahan dibagi sedemikian rupa antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dijelaskan pula pada Pasal 10 (1) undang-undang yang sama, bahwa “pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini (Nomor 32 Tahun 2004) ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dijelaskan pada ayat (2) pasal yang sama, bahwa “pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”.
      Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama (lihat Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004). Adapun urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi meliputi : 
perencanaan dan pengadilan pembangunan; 
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 
penyediaan sarana dan prasarana umum; 
penanganan bidang kesehatan; 
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 
pengendalian lingkungan hidup; 
pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten/kota; 
pelayanan kependudukan dan catatan sipil; 
pelayanan administrasi umum pemerintahan; 
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan 
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 13 (1) UU No. 32 Tahun 2004). 
      Selanjutnya yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah untuk kabupaten/kota meliputi :
perencanaan dan pengendalian pembangunan; 
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 
penyediaan sarana dan prasarana umum; 
penanganan bidang kesehatan; 
penyelenggaraan pendidikan; 
penanggulangan masalah sosial; 
pelayanan bidang ketenagakerjaan; 
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 
pengendalian lingkungan hidup; 
pelayanan pertanahan; 
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 
pelayanan administrasi umum pemerintahan; 
pelayanan administrasi penanaman modal; 
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 14 (1) UU No. 32 Tahun 2004). 
      Selain memberikan kewenangan yang luas, kebijakan Otda juga memberikan hak dan kewajiban yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Di antara hak daerah juga adalah : 
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan; 
memilih pimpinan daerah; 
mengelola aparatur daerah; 
mengelola kekayaan daerah; 
memungut pajak daerah dan Retribusi daerah; 
mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; 
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan 
mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 21 UU Nomor 32 Tahun 2004). 
      Adapun yang menjadi kewajiban daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah: 
melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
meningkatkan kehidupan demokrasi; 
mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat; 
mewujudkan keadilan dan pemerataan; 
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; 
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; 
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; 
mengembangkan sistem jaminan sosial; 
menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; 
mengembangkan sumber daya produktif di daerah; 
melestarikan lingkungan hidup; 
mengelola administrasi kependudukan; 
melestarikan nilai sosial budaya; 
membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan 
kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004). 
      Pelaksanaan berbagai kewenangan, hak dan kewajiban di atas mengacu pada beberapa asas umum, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas selalu tunduk dan patuh kepada kemauan dan kepentingan pemerintah pusat, setelah kebijakan Otda pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk berkembang menjadi aparatur yang lebih aktif dan kreatif sehingga tidak hanya menunggu dan memanfaatkan peluang atau kue pembangunan dari pemerintah pusat, tetapi mampu menciptakan peluang sendiri. Hal ini dimungkinkan karena dalam kebijakan otonomi daerah pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menetapkan bentuk organisasi pemerintahan yang diperlukan, merekrut pegawai, mengatur penggunaan dana, dan menyusun regulasi sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
      Faktor penting ketiga dalam proses otonomi daerah adalah tersedianya sumber pendapatan yang dikuasai oleh pemerintah daerah dengan tetap memerlukan subsidi dari pemerintah pusat: “kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah” dan sumber pendapatan daerah terdiri atas tiga sumber utama. Sumber pertama adalah pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari hasil pajak daerah, hasil Retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Sumber kedua adalah dana perimbangan yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sumber ketiga adalah lain-lain pendapatan daerah yang sah, yaitu seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah (lihat Pasal Bab VIII UU Nomor 32 Tahun 2004). Kewenangan pemerintah daerah yang lebih luas dalam pengelolaan dana tentu saja memberi peluang kepada daerah untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan serta memaksimalkan penggunaan dana pembangunan daerah.
      Akan tetapi, di balik kewenangan yang lebih luas tersebut, terdapat beban tanggung jawab yang sangat besar. Apabila gagal memahami keseimbangan antara kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang pendanaan ini, aparat pembangunan di daerah akan mudah terjerumus pada praktik-praktik penyimpangan penggunaan dana. Mungkin inilah yang melatarbelakangai bermunculnya praktik KKN berjamaah di berbagai daerah, yang saat ini membuat para penegak hukum sangat sibuk.
      Dengan ruang lingkup, peran, fungsi, dan kewenangan yang ada pada tiga faktor di atas, kebijakan otonomi daerah membawa perubahan cukup besar pada sistem distribusi kekuasaan dan alokasi keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Jika sebelumnya kekuasaan politik dan pengelolaan keuangan didominasi oleh pemerintah, pada era otonomi daerah kekuasaan tersebut cukup banyak terdistribusi pada pemerintah daerah. Selain memberi peluang bagi upaya mengurangi ketimpangan regional dan ketidakadilan alokasi dana, otonomi daerah memungkinkan berkembangnya desain dan proses pembangunan daerah yang lebih heterogen, efisien, bermutu, dan relevan, serta kontekstual dengan potensi, situasi, dan kebutuhan daerah.  

IV. Pendanaan
      Komitmen bangsa Indonesia, khususnya para wakil rakyat yang ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terhadap perbaikan mutu pendidikan dan keyakinan mereka pada pendidikan sebagai sarana peningkatan kualitas hidup bangsa juga ditunjukkan dengan tingginya komitmen mereka terhadap pendanaan pendidikan. Untuk pertama kali dalam sejarah bangsa ini, konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 mengaskan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” (lihat pasal 31 ayat 4). Persentase alokasi dana pendidikan tersebut juga ditegaskan pada Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan APBD”. Ditegaskan pula bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintahan dan masyarakat (lihat Pasal 1, 5, 11, 41, 46, dan 53), dapat diatur dan dihimpun melalui berbagai sumber, yaitu APBN, APBD, SPP, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain. (Pasal 46 dan 47), dan harus dikelola berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (Pasal 48).
      Skema pendanaan pendidikan tersebut sejalan dengan pesan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.


V. Kesimpulan
Setelah kita mencermati uraian-uraian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan itu merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara terhdap warga negaranya, bahkan pengaturannya pun setiap daerah memilikinya. Namun pada prakteknya tidak semua masyarakat bisa menikmati pendidikan formal, perlu dipertanyakan komitmen pemerintah tentang kewajiban belajar 9 tahun dan tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 : “ mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mengenai alokasi anggaran pendidikan yang 20 % itu sebenarnya kalau terrealisasikan dengan baik, itu sudah bisa mengurangi masyarakat yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal. 
Jika kita mencermati apa yang tertulis di Kompas pada tanggal 16 September 2011 kemaren dalam salah satu kolam beritanya yang tertulis “ Pencairan Bos Telat “. Dalam kompas tersebut dijelaskan proses pencairan dan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) triwulan ketiga dibeberapa daerah masih terlambat, dari 497 kabupaten dan kota, hingga kini baru 217 kabupaten dan kota atau 43,7 yang telah mencairkan dana BOS. Dengan begitu berarti masih ada 280 kabupaten dan kota yang belum mencairkan dana BOS. Sungguh ironis sekali, ketika pendidikan itu meupakan hak dasar yag harus dipenuhi oleh negara, dana operasionalnya pun tidak langung cair. Direktur Jendral Pendidikan Dasar Suyanto seperti yang dilansir di kompas, mengaku heran karena proses pencairan dana  BOS triwulan ketiga justru lebih lambat dari triwulan pertama dan kedua, padahal sudah ada surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, tentang Percepatan Pencairan Dana BOS tahun 2011. Dengan demikian pemerintah daerah di nilai lamban dalam proses pencairan dana tersebut, inilah salah satu potret bangsa ini dimana kepentingan selalu mempengaruhi, mulai dari proses perencanaan, pembuatan, pelaksanaan sampai penegakannya.
Selain itu ketidakmampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan alokasi dana untuk sektor pendidikan diperburuk oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan. Sumber-sumber pendanaan pendidikan yang diharapkan datang dari masyarakat, seperti SPP, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, dan sumbangan perusahaan belum befungsi dengan baik. Dana SPP misalnya, belum dapat dioptimalkan mengingat kondisi ekonomi sebagian besar orang tua masih memprihatinkan. Akibatnya, program-program pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang sangat tergantung pada subsidi pemerintah. Dana yang berasal dari sumber lainnya sebagian besar masih tercurah ke sektor sosial keagamaan, seperti pembangunan Mesjid dan bantuan fakir miskin. Kalaupun tercurah ke sektor pendidikan, masih sangat terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, seperti pondok pesantren. Padahal, pendidikan keagamaan hanyalah sebagian kecil dari seluruh lembaga pendidikan yang ada di tanah air.
      Masih ada kecenderungan sebagian besar masyarakat memandang bahwa hibah, wakaf, zakat, dan pembayaran nadzar untuk sektor sosial keagamaan lebih utama (afdhol) dan bermanfaat ketimbang untuk sektor pendidikan. Padahal, tanpa pendidikan yang baik, masyarakat tidak mungkin dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik. Kesadaran masyarakat yang kurang inilah menjadi salah satu penyebab mengapa pendidikan itu terasa mahal. Disamping itu masih kurangnya peran aktif orang tua dalam memeberikan pendidikan dasar dalam keluarga kepada anak-anaknya, dengan anaknya disekolahkan bukan secara otomatis 100% menjadi tanggung jawab pihak sekolah, karena bagaimanapun juga keluarga merupakan pendidikan awal bagi seorang anak untuk membentuk karakternya.
  Berbagai peraturan perundang-undangan bidang pendidikan yang ditetapkan pada era otonomi daerah, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan pergeseran paradigma pendidikan nasional dari education for all (pendidikan untuk semua) ke education from all, by all, and for all (pendidikan dari semua, oleh semua, dan untuk semua). Paradigma pertama memang membuka lebar-lebar akses pendidikan pada semua lapisan masyarakat, namun perencanaan, penyelenggaraan, dan pengevaluasiannya sangat didominasi oleh pemerintah dan pendanaannya sangat tergantung pada subsidi pemerintah.
Dengan demikian Pemerintah Daerah dalam menjalankan kewajibannya untuk pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi masyarakat masih belum efektif.

VI. Saran
alokasikan dengan baik anggaran 20 % untuk pendidikan tersebut.
PEMDA sebaiknya belajar dari pengalaman yang sudah-sudah dalam pencairan dana BOS dari kuartel sebelumnya agar tidak terjadi keterlambatan.
 PEMDA seharusnya memiliki komitmen yang tinggi untuk menyalurkan dana BOS ke sekolah.
PEMDA bekerja sama dengan masyarakat untuk memenuhi hak dasar masyarakat atas pendidikan.

Sumber : 
Rahayu, 2010, Hukum Dan Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
UUD 1945.
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Kompas.
www.google.com

CONTOH PERJANJIAN JUAL BELI


CONTOH 
PERJANJIAN JUAL BELI
Pada hari ini Selasa, tanggal Tiga Belas Mei Dua Ribu Delapan ( 13-05-2008) ditandatangani perjanjian antara:
Nama           : Anwar Zainuddin
Pekerjaan      : Direktur PT. Akira Narayana
Alamat          : Jl. Cik Di Tiro No. 230 Yogyakarta
Umur            : 28 Tahun
Dalam hal ini bertindak didalam kedudukannya sebagai Direktur, sehingga mewakili Direksi dari dan selaku demikian bertindak untuk dan atas nama serta mewakili PT. Akira Narayana, berkedudukan di Yogyakarta yang telah didirikan dengan akta tertanggal 20 April 2000, nomor 23, dibuat oleh dan dihadapan Amron. SH, sebagai Notaris di Yogyakarta. dan Anggaran Dasarnya telah mendapat pengesahan dari yang berwenang, sebagaimana dalam keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia RI, tertanggal 18 Maret 2006. nomor C2.HT.01.02.4882.Th.2006.
Selanjutnya disebut Pihak Kesatu
Dan
Nama           : Halim Kusuma
Pekerjaan      : Swasta
Alamat          : Jl. Cendana No. 100 Yogyakarta
Umur            : 30 Tahun
Dalam hal ini bertindak selaku pengusaha dan pemilik CV. Raos Echo berkedudukan di Yogyakarta, yang telah didirikan dengan Akta tertanggal 11 Maret 2000 nomor 66, dibuat dihadapan Djoko Waluyo. SH, Notaris di Yogyakarta, yang mana akta itu telah tercatat dalam Tanda Daftar perusahaan yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi kota Yogyakarta, tertanggal 20 Mei 2006, nomor 157/BU/12-05/V/2005.
Selanjutnya disebut  Pihak Kedua
Kedua belah pihak terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut :
1.      bahwa pada tanggal 10 Mei 2008, pihak kesatu telah melakukan pemesanan bahan-bahan pembuatan ice cream kepada pihak kedua.
2.      bahwa atas pemesanan pihak kesatu, pihak kedua telah melakukan penawaran bahan-bahan pembuatan ice cream kepada pihak pertama.
3.      bahwa pihak kedua telah memberitahukan kepada pihak kesatu tentang kualitas, bentuk, dan jenis bahan-bahan ice cream sebagaimana pihak kesatu telah mengerti dengan jelas dan tegas kualitas, bentuk dan jenis bahan-bahan ice cream yang ditawarkan.
4.      bahwa terhadap harga penawaran bahan-bahan ice cream milik pihak kedua itu, pihak kesatu dan pihak kedua sepakat dengan harga penawaran sebesar Rp. 820.000.000 (delapan ratus dua puluh juta rupiah) untuk keseluruhan bahan-bahan ice cream yang dipesan pihak kesatu.
5.      bahwa terhadap penawaran bahan-bahan ice cream dan harga, pihak kesatu dan pihak kedua telah sepakat untuk melakukan jual beli, dalam mana pihak kedua sebagai penjual dan pihak kesatu sebagai pembeli.
6.      bahwa terhadap kesepakatan jual beli diatas, pihak kesatu dan pihak kedua sepakat untuk menuangkannya dalam akta perjanjian jual beli.
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut diatas, maka kedua belah pihak telah mufakat dan sepakat untuk mengadakan perjanjian jual beli dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana diuraikan dalam pasal-pasal berikut :
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Dalam perjanjian ini, yang dimaksud dengan :
1)     barang adalah bahan-bahan yang menjadi obyek jual beli dalam perjanjian ini.
2)     harga barang adalah besarnya nilai barang dalam hitungan mata uang rupiah.
3)     transfer Bank adalah cara pembayaran dengan memindahkan dana dari rekening Bank yang satu ke rekening Bank lainnya yang dituju dan telah disepakati.
4)     slip transfer Bank adalah alat bukti yang sah dan sempurna, berupa nota atau catatan resmi yang dikeluarkan secara sah oleh Bank, mengenai telah dilakukannya transfer Bank.
5)     faktur penyerahan adalah alat bukti yang sah dan sempurna berupa nota atau catatan mengenai telah diterimanya barang secara utuh, lengkap dan sesuai dengan pemesanan.
Pasal 2
MACAM DAN JENIS BARANG
Barang yang menjadi objek jual beli dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut :
a.      20000 kg susu bubuk kelas A.
b.     10000 kg gula pasir.
c.      250 kg essances rasa vanila.
d.      250 kg essances rasa coklat.

Pasal 3
HARGA BARANG
Harga penawaran barang yang telah disepakati para pihak adalah sebesar :
a.      20000 kg susu bubuk kelas A, @Rp. 35.000,-, total harga Rp.700.000.000,-.
b.     10000 kg gula pasir, @Rp.7.000,-, total harga Rp. 70.000.000,-.
c.      250 kg essences rasa vanilla, per pak 10 kg Rp.100.000,-, total harga Rp. 25.000.000,-.
d.      250 kg essences rasa coklat, per pak 10 kg Rp. 100.000,-, total harga Rp. 25.000.000,-.

Pasal 4
CARA PEMBAYARAN dan MEDIA PEMBAYARAN
Pembayaran dapat dilakukan dengan menggunakan cara dan media pembayaran sebagai berikut ;
1)     transfer Bank kepada Bank BNI Malang Cabang Unibraw, rekening no. 113-505-9425 atas nama Halim Kusuma, sebesar Rp.820.000.000,-( delapan ratus dua puluh juta rupiah ).
2)     bukti pembayaran dengan media transfer bank berupa salinan slip transfer bank wajib diserahkan kepada pihak kedua secara langsung atau via Facsmail ke no. (0274)555-3540, sesaat setelah dilakukan pembayaran dengan media transfer bank..
3)     pembayaran kepada pihak kedua dilakukan dalam dua tahap, yaitu 40% akan dibayar paling lambat 5 (lima) hari setelah pengiriman dan sisanya dibayarkan 1 (satu) minggu setelah barang sampai ke PT. Akira Narayana.
4)     cara pembayaran pada ayat diatas dilakukan dengan transfer Bank dari pihak kesatu kepada pihak kedua.

Pasal 5
JATUH TEMPO PEMBAYARAN
1)     pembayaran dilakukan dalam dua tahap, yaitu 40% akan dibayar      paling lambat 5 (lima) hari setelah pengiriman dan sisanya dibayarkan 1 (satu) minggu setelah barang sampai ke PT. Akira Narayana.
2)     pembayaran pertama paling lambat dilakukan pada tanggal 25 Mei 2008.
3)     pembayaran kedua 1( satu ) minggu setelah barang sampai ditangan pihak kedua.

Pasal 6
PENGANGKUTAN DAN PENYERAHAN BARANG
1)     pengiriman barang akan dilakukan pada tanggal 20 mei 2008.
2)     penyerahan barang akan dilakukan ditempat pihak kesatu, di Jl. Cik Di Tiro No. 230 Yogyakarta, dengan sebelumnya pihak kedua melakukan pemberitahuan secara lisan dan atau tertulis terlebih dahulu kepada pihak kesatu.
3)     segala hak, kewajiban dan resiko terhadap barang beralih dari pihak kedua kepada pihak kesatu ketika barang telah diserahkan kepada pihak kesatu tepat ditempat yang telah diperjanjikan.
4)     penyerahan barang secara huukm dianggap telah tejadi apabila pihak kesatu telah memmbubuhkan tandatangan pada nita pengiriman barang, pesanan atau faktur penyerahan barang.
5)     dokumen tersebut pada ayat 4 pasal ini, merupakan alat bukti yang sah dan sempurnatentang telah diterimanya barang oleh pihak kesatu secara utuh, lengkap sesuai angka jumlah barang yang tertera pada nota / faktur itu.

Pasal 7
KEWAJIBAN PARA PIHAK
1)     kewajiban pihak kesatu adalah :
a.      melakukan pembayaran kepada pihak kedua sesuai dengan harga barang yang telah disepakati.
b.     Melakukan pembayan dengan cara dan media pembayaran yang telah ditentukan.
c.      Melakukan pembayaran pada waktu dan tempat yang telah disepakati.
d.      Menandatangani nota atau faktur penyerahan barang.
2)     kewajiban pihak kedua adalah :
a.      melakukan pengiriman barang sesuai dengan pesanan.
b.     Melakukan pengiriman dan peyerahan barang tepat pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
c.      Menyerahkan faktur pembelian kepada pihak kesatu.

Pasal 8
BIAYA dan BEBAN
1)     pihak kedua menanggung semua biaya pengangkutan barang dari tempat pihak kedua hinggga diserahterimakan ditempat pihak kesatu.
2)     pihak kesatu menanggung beban pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 % yang dikenakan terhadap barang yang telah diterimanya.

Pasal 9
JAMINAN TERHADAP BARANG
1)     pihak kedua menjamin bahwa barang yang dikirim kepada pihak kesatu bebas dari kerusakan serta cacat dalam hal pembuatannya.
2)     dalam waktu 3 (tiga) hari setelah pengiriman barang, pihak kedua akan mengganti barang yang ditemukan rusak atau cacat dari awal pembuatannya dengan bebas biaya termasuk bebas biaya pengangkutan dan pengiriman.
3)     pihak kedua tidak menjamin hal-hal lain selain yang telah diatur diatas.

Pasal 10
WANPRESTASI
Apabila pihak kesatu tidak membayar atas barang yang telah diserahkanatau lewat dari waktu yang telah diperjanjikan maka pihak kedua berhak untuk membatalkan perjanjian ini dan menuntut ganti rugi atas pembatalan perjanjian dan segala biaya-biaya yang telah dikeluarkan pihak kedua.

Pasal 11
PEMUTUSAN PERJANJIAN BERIKUT KONSEKUENSINYA
1)     hubungan hukum berdasarkan perjanjian ini hanya dapat berakhir berdasarkan satu atau kombinasi dari beberapa alasan dibawah ini :
a.      pihak kesatu dan atau pihak kedua dinyatakan pailit berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
b.     Pihak kesatu dan pihak kedua secara tertulis sepakat untuk memutus ikatan / membubarkan perjanjian ini.
c.      Masa ikatan perjanjian ini sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh para pihak.
2)     pihak yang secara sepihak memutus perjanjian ini tanpa didasarkan kepada satu atau beberapa alasan sah wajib membayar denda kepada pihak lain didalam perjanjian ini sebesar 2 kali lipat total jumlah harga barang pesanan yaitu sebesar2 X  Rp. 820.000.000,-=Rp. 1.640.000.000,-.satu miliar enam ratus empat pulh juta rupiah.
3)     dalam hal perjanjian ini putus berdasarkan alasan apapun, maka jangka waktu 1 bulan terhitung sejak saat putusnya itu para pihak secara tuntas menyelesaikan dan melunasi segala urusan keuangan yang ada diantara mereka.

Pasal 12
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
1)     apabila terjadi perselisihan diantara para pihak berkaitan dengan perjanjian ini maupun yang berkaitan dengan pelaksanaannya, pertama-tama para pihak wajib berusaha menyelesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan.
2)     apabila upaya musyawarah dan kekeluargaan tidak dapat menyelesaikan perselisihan diantara para pihak maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan dengan menunujuk domisili hukum pada pengadilan negeri yogyakarta sebagai pengadilan yang berwenang.

Pasal 13
PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN PERJANJIAN
1)     segala perubahan dan penambahan terhadap perjanjian ini wajib dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak atau kuasanya.
2)     apabila salah satu pihak dalam perjanjian ini melepaskan suatu hak, maka tidak secara otomatis semua hak lainnya dilepaskan, melainkan hanya hak tertentu yang secara nyata dan tegas dilepaskan berdasarkan pemberitahuan tertulis dan ditandatangani.

Demikian perjanjian jual beli ini dibuat dalam rangkap dua bermaterai cukup yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dan berlaku sejak ditandatangani oleh para pihak pada hari, tanggal dan tahun yang sama pada awal akta.

     Pihak Kesatu                                               Pihak Kedua

 ( Anwar Zainuddin )                                         ( Halim Kusuma )
Saksi-saksi


( Lestari )                                                      ( Bayu )