Rabu, 12 Oktober 2011

MENGENAL JENIS-JENIS ASURANSI


JENIS-JENIS ASURANSI

Oleh:
M. Sanusi

              Setiap sendi kehidupan manusia itu tidak bisa terlepaskan dari yang namanya resiko. Resiko itu sendiri merupakan sesuatu yang pasti terjadi hanya saja kita tidak pernah tau kapan waktu pastinya itu terjadi, resiko itu tidak bisa kita hindari akan tetapi resiko bisa dimanage dengan cara mengalihkan resiko tersebut ke perusahaan asuransi. Asuransi jika di ibaratkan ke sebuah pepatah mengatakan “sedia payung sebelum hujan ” asuransi itu merupakan payung untuk memanage resiko tersebut artinya bahwa asuransi merupakan proteksi atau perlindungan terhadap diri dan keluarga serta harta benda manakala terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (bencana, kemalangan, yang menimpa diri dan harta benda kita/ resiko yang tidak diharapkan terjadi).
              Misalnya saja ketika terjadi kecelakaan lalu lintas. Di sini tentu ada dua potensi kerugian yang bisa menimpa, seperti kerugian akibat rusaknya kendaraan dan timbulnya biaya pengobatan atas luka yang diderita. Dengan membeli asuransi maka kerugian tersebut beralih menjadi tanggungan asuransi, sebagian atau seluruhya tergantung perjanjian dengan perusahaan asuransi.
              Dewasa ini, fungsi asuransi pun mengalami perkembangan, tidak hanya berfungsi sebagai perlindungan atau proteksi atas suatu resiko, tetapi asuransi sudah berkembang jauh menjadi instrumen investasi, dengan prodek Unit Link yang mengemas asuransi dengan investasi. Manfaat asuransi pun semakin dirasakan masyarakat pemegang polis yang juga kian tumbuh. Meski perannya sangat penting dalam kehidupan manusia, masih banyak orang yang apriori atau tidak paham seluk beluk berasuransi. Dari total 237 juta jiwa penduduk Indonesia, diperkirakan baru sekitar 38 juta jiwa yang terlindungi asuransi. Rendahnya penetrasi asuransi disebabkan banyak hal, antara lain belum optimalnya kalangan industri asuransi mengedukasi masyarakat dan masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai asuransi.
              Masyarakat dapat dikatakan kebanyakan mengenal asuransi dari agen-agen asuransi, sehingga menimbulkan dampak yang negatif, banyak agen dalam melakukan presentasi soal asuransi yang hanya sekedar mencari nasabah untuk membeli premi asuransi, sehingga tidak mengedukasikan publik tentang, jenis-jenis asuransi, perencanaan keuangan, pemilihan asuransi yang sesuai dengan kebutuhan, dan seluk-beluk klaim.
              Untuk itu penulis disini mencoba untuk sedikit menguraikan mengenai jenis-jenis asurans. Di indonesia jenis asuransi terbagi menjadi dua jenis besar, asuransi tradisional dan asuransi nontradisional.
1.      Asuransi tradisional, terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
a.       Asuransi Term Life (berjangka)
b.      Asuransi Whole life (seumur hidup)
c.       Asuransi Endowment (dwiguna)

HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS


 TINDAK PIDANA KHUSUS

Oleh:
M. Sanusi

A.    Pengertian



Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah  UU Pidana[1] yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.
            Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku  terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.
Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan  berlaku  kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu.  Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang  mengatakan :
“ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.      


  1. Dasar hukum dan kekhususan.

UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002.
Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu
Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang  dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena  KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).



















Perundang-undangan Pidana :

  1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
  2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana  terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum


Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada  5 substansi.
    1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
    2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
    3.  UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
    4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan  Hukum administrasi
( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan).
Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena  KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

  1. Kekhususan T.P. Khusus.
Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana  umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal.
Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.



1.      Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil.        
(Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dpt berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketntuan khusus (ket.khs)

a.         Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs)
b.        Percobaan dan membantu   melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang)
c.         Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran  (ket. khs)
d.        Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial). (menyimpang/ket.khs)
e.         Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan   perekonomian negara. (ket.khs)
f.          Pegawai negeri merupakan sub. Hukum tersendiri.(ket. khs).
g.        Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain  itu menetukan menjadi tindak pidana. (ket.khus).
h.        Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang)
i.          Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs)
j.             Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU    itu.(ket.khs).
k.        Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs)
l.              Adanya ketentuan  yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs)
m.      Tindak pidananya dapat bersifat politik (  ket.khs).
n.        Dapat pula berlaku asas retro active
2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal.

a.       Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa[2], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[3]
b.      Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain;
c.       Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi.
d.      Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara;
e.       Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE);
f.       Dianutnya Peradilan In absentia;
g.       Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank;
h.      Dianut Pembuktian terbalik;
i.        Larangan menyebutkan identitas pelapor;
j.        Perlunya pegawai penghubung;
k.      Dianut TTS dan TT

D.    Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh  : UU No 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika  merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No 9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa  telah dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Linyas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga  UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus.
            Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus :
1.      Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955)
2.      Tindak pidana Korupsi
3.      Tindak Pidana Terorisme.
Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana  khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi.

Hukum Pidana Ekonomi
I.      Pengertian, dan dasar Hukum
UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan  dalam bentuk defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi  ialah pelanggaran sesuatu keten-tuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi.
      Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955[4] tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan  ten-tang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP).

II.    Kekhususan Hukum Pidana Ekonomi

Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain..Menurut Andi Hamzah[5] kekhususan yang dimaksud adalah:
a. Peraturan hukum pidana ekonomi bersifat elastis mudah berubah-   ubah;
b.      Perluasan subjek hukum pidana (pemidanaan badan hukum);
c.       Peradilan in absentia;  Peradilan in absentia  berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak duikenal. Untuk mengetahui siapa orang yang tidak dikenal ini pelajari UU No 7 Drt 1955 dan UU No 15 Prp tahun 1962.
d.      Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi;
e.       Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran;
f.       Perluasan berlakunya hukum pidana
g.      Penyelesaian di luar acara (schikking).[6]
h.      Perkara TPE diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang (tahin 2007) belum ada Pengadilan ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No 7 Drt 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi.  Menurut Ps 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi.
i.        Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim, jaksa, dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak  pidana ekonomi, berarti bukan hakim, jaksa dan Panitera umum.
j.         Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.
k.        Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi


III.             Perumusan Tindak Pidana Ekonomi 

Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e Pasal 1 sub 1e[7] sudah mengalami beberapa kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955.  Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah   pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi.   Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat  hukum administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU No 7 Drtr 1955 disebut sebagai tindak pidana ekonomi oleh karena berupa kejahatan yang meru-gikan keuangan dan perekonomian negara. Berdasarkan  ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e UU No 7 Drt 1955 tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok. Pertama tindak pidana yang berasal dari luar UU No 7 Drt 1955, yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps 1 sub 1e dan Ps 1 sub 3e. Kedua tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps 26, Ps 32 dan Ps 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e.

Tindak pidana berdasarkan Ps 26.
            Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pegawai pengusut[8] (selanjutnya disebut penyidik). Ps 26 merumuskan dengan segaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini.
            Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi  bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah :
a.Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan  atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps 18 ayat (1).
b.Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk dke-tahui penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1)
c.       Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang perlu  oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps 22 ayat (1).

Tindak Pidana berdasarkan  Pasal 32
Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan :
a.    pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal 7 ayat (1) a,b, atau c;
d.      tindakan tatatertib seprti dalam Pasal 8;
e.        suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal 10;
f.        tindakan tatatertib sementara. Seperti pada Pasal 27 dan 28
g.      atau menghindari ketentuan a,b,c atau d tersebut di atas.
Rumusan lengkap Ps 32 sbb:
Barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peratur-an, tindakan tatatertib sementara seperti tersebut di atas.
Menurut pembuat UU yang dimuat dalam penjelasan Ps 32 ini agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada tang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagi- nya, sebab pengusaha yang memnbandel banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya pelbagai pidana tambahan.

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33

Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32 di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindar-kan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tatatertib, atau tindak-an tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU No 7Drt 1955.
Rumusan secara lengkap sbb:
Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.
            Ps 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi  jika orang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:
  1. menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau
  2.  tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt 1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu.
Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya terbatas terhacdap :
    1. tagihan-tagihan;
    2. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib;
    3. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus berdasarkan UU No 7 Drt 1955.
Menurut Karni apa yang dimaksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam
Ps 399 KUHP.  Ps 399 KUHP merupakan kejahatan  yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :
  1. ... menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barfang dari harta bendanya;
  2. memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang .....
  3. menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang,...
  4. tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu...

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps 1 sub 3e

Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang oirtu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.
            Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi.
  1. UU No 8 Prp tahun 1962  LN No 42 tahun 1962 tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
  2. UU No 9 Prp tahun 1962  LN No 43 tahun 1962 tentang Pengendalian harga;
  3. UU No 11 tahun 1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.

 

IV. Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

            Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955  terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum.  Tingkat pertama Peradilan tindak pidana ekonomi  diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps 37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatiur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44, Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48.
Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya semata-mata maka hakim, paniteradan jaksa  adalahb tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di pengadilan negeri. Ps 35 ayat (1) memberikan arti pengadilan ekonomi ada di pengadilan negeri. Pengadilan ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak nampak akan tetapi fungsinya ada.

 

Menurut Ps 36 seorang Hakim atau  Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini dike-hendaki pada tahun 1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekono-mi, ketika itu hakim di Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[9]. Oleh karena pada Ps 36 itu tidak disebut panitera berarti panitera tidak dapat dipeker-jakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.

Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesiaan tindak pidana ekonomi maka dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hukum pengadilan negeri apabila pada pengadilan negeri dalam lingkungan peng-adilan tinggi itu tidak terdapat hakim atau jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi.

 

Pada tingkat banding disebutkan Pada Ps 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap pengadilan tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan pengadilan tinggi ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama dengan Ps 35 ayat (1).

 

V. Badan-Badan Pegawai Penghubung.


            Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangat gecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya menyebabkan  timbul per-bedaan pendatpat antara jaksa dan hakim. Untuk mengatasi masalah yang berhubung-an dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan  terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung.  Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan  persetujuan Menteri Kehakiman.

Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar maupun di dalam Pengadilan. Menteri yang bersangkutan maksudnya adalah menteri yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu apakah yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenai lalu lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya memberi bantuan saja bantuan ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana perekonomia. Badan pegawai penghubung ini bukanlah sebagai saksi ahli sebagaimana dalam Ps 120 jo Ps 180 KUHAP.

 

VI.Tindakan Tatatertib Sementara


            Tindakan tatatertib sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7 Drt 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengam- bil tindakan tatatertib sementara. Ketentuan Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No 26/Prp/1960. Secara akademik untuk dapat mengambil tindakan tatatertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1)
Ketentuan Ps 27 ayat (1) sama dengan ketentuan Ps 28 ayat (1). . Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu, syarat, waktu,  tujuan dan tindakan yang harus dilakukan  pengambilan tindakan tatatertib sementara.
Syarat pengambilan Tatatertib sementa adalah:
  1. ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka;
  2. ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka

Waktu pengambilan  tindakan tetatertib sementara

  1. Bagi jaksa selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1)
  2. Bagi hakim sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)
Tujuan pengambilan  tindakan tetatertib sementara
  1. supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
  2. supaya  tersangka berusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.
Tindakan  Melaksanakan  Tindakan Tetatertib Sementara
  1. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah dilakukan;
  2. penempatan perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah dilakukan,  dibawah pengampuan
  3. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.
Pelaksanaan Pengambilan Tindakan Tata teretib Sementara
            Apabila hakim telah menerima berkas perkara pidana eko-nomi harus diperha-tikan apakah Jaksa sudah atau belum meng-ambil tindakan tatatertib sementara  sesuai dengan ketentuan syarat, waktu dan tujuan. Jaksa setelah menganbil tindakan tata-tertib sementara berdasarkan Ps 27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perin-tah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan :
a. memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam)
    bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan jaksa.
b. mencabut atau merubah tindakan tatatertib sementara yang diambil Jaksa atas da  -sar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa.
Tindakan tataertib sementara berdasarkan ketentuan Ps 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim.
Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara.  Setelah Hakim meng-ambil tindakan tatatertib sementara, hakim dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Tindakan tatatertib semntara yang diambil oleh hakim  dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut :
a.       oleh hakim karena jabatannya
b.      atas tuntutan jaksa
c.       atas permohonan terdakwa.
Mengingat tindakan tatatertib sementara kemungkinan dapat menim,bulkan kerugian yang besar,  maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan mengganti keru-gian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan:
a.       tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tatatertib.
b.      dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tetatertib sehingga tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat.
Uang pengganti kerugian itu  dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak menghambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam tingkat penghabisan.

VII. Sanksi


            Sanksi terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”. Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pi-dana ini sesuai dengan ketentuan Ps 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib seba-gaimana diatur dalam Ps 8 UU No 7 Drt 1955.
            Tindakan tetatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada diba-wah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila  hakim tidak menentukan lain.[10].
            Sanksai pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua  sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda)  atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.
            Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan.
1.      UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.
2.      UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap keten-tuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi[11], tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun [12] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu :
a.       memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya;
b.      menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara;
c.       melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat).
3.      UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958  dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian  dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan human mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1.Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif. 


[1]               Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadaphukum pidana  materil dan juga formal.
[2] . Ketentuan dalam UU No. 31/ 1999 jo UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutanTindak Pidana Korupsi., dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi  baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan (Ps 8 UU No 30/2002).
[3]  Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, PPNS tidak ada disebutkan badan lain.
[4]               UU No 7 Drt 1955 dikenal sebagai Hukum Pidana Ekonomi.
[5]               Andi Hamzah. 1983. Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga Jakarta hlm 25- 42.
[6]               Schikking setrelah berlakunya UU No 10/1995 dan UU No 11/1999 tidak berlaku lagi.  Akan tetapi ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar sidang pengadilan diatur dalam Ps 82 KUHP sepanjang ancaman pidananya denda saja.
[7]               Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke 1., demikian juga sub 2e dibaca sub ke 2 dst. Tindak pidana yang terdapat dalam Ps 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan terakhir setelah Stb  No 240 tahun  1882 “Rechtenordonantie” dicabut oleh UU No 10 tahun 1995 dan UU No 11 tahun 1995.  Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan tentang bea masuk dan keluar sehingga disebut dengan UU Bea.
Bacalah secara teliti ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e . Lalu cari yang mana tindak pidana itu yang telah dicabut dan UU mana yang mencabutnya.
[8]               Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya  sama dengan penyidik dalam KUHAP.
[9]               RI merdeka baru sepuluh tahun. Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat sekolah pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk hakim dan Jaksa pada sekolah hakim dan jaksa. (SHD) setelah tahun 60 an.
[10]             Lihat buku Pengantar Hukum Pidana Ekonomi oleh R.Wiyono hlm 92-100. Sedangkan sanksi pidana tambahan lihat hlm 85-92.
[11]             Ketentuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pada waktu itu adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat No Prt/Peperpu/0134/1958..
[12]             Berarti menganut sanksi pidana minimum khusus.

Minggu, 18 September 2011

EKSISTENSI HAK ULAYAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Implementasi Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999)



Oleh:

M. Sanusi

A. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

            Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan kemajemukannya, terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibungkus semangat Bhineka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan dengan modernisasi dan kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang berbeda dalam hal mengikuti alur modernisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi perubahan sosial yang oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga membawa kemajuan dan disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada kelompok masyarakat lain yang disebabkan oleh faktorketerikatan kultur/adat, agama maupun lokasi. Masyarakat yang dideskripsikan terakhir inilah yang disebut dengan Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup terpencil. Walaupun dalam keadaan ketertinggalan dan keterbelakangan mereka tetap memiliki hak sebagai warga negara yang diakui dan dilindungi keberadaan dan kebebasannya untuk tetap hidup dengan nilai-nilai tradisionalnya.  Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang dipegang teguh.
        Agar masyarakat hukum adat itu tidak dikatakan terpencil lagi maka Negara harus mengakui eksistensinya dan adanya pembangunan yang merata. Karena pelaksanaan pembangunan sebagai wujud dari pertumbuhan dan perkembangan suatu daerah, tapi pembangunan itu tidak semulus yang diharapkan karena pembangunan itu selalu berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lahan. Hal ini mengakibatkan nilai dan harga lahan terus meningkat sehingga penguasaan atas lahan bagi masyarakat dewasa ini mengalami pergeseran nilai dari fungsi sosial ke fungsi ekonomi, sehinggan lahan merupakan komoditi ekonomi yang harus dikuasai baik secara legal maupun ilegal.
         Pembangunan selalu dijadikan alasan untuk mengambil tanah rakyat, sehingga pemerintah atau penguasa terkadang  sewenang-wenang mengambil tanah rakyat seolah-olah pemerintah mempunyai tanah ulayat. Padahal tanah ulayat bukan milik pemerintah maupun orang-orang tertentu, tapi tanah ulayat itu dimiliki oleh suku atau kelompok adat tertentu dimana tanah ulayat itu berada. Eksistensi tanah ulayat itu sendiri pun sudah diatur dalam regulasi nasional, salah satunya pasal 3 UUPA disitu disebutkan bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga sah menurut hukum, oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya. Akan tetapi dalam prakteknya pemerintah sering sekali bersikap tidak adil kepada masyarakat hukum adat dengan cara mengambil alih tanah adat, tanpa melalui pelepasan adat atau minta izin (persetujuan) dari masyarakat hukum adat. Hal itu dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah ulayat atau untuk melakukan kegiatan pembangunan lainnya.


II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan masalah sebagai berikut: 
  1. Bagaimana ekstensi hak ulayat itu sendiri dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, apakah sudah benar-benar diakui dan dihormati atau hanya sekedar pengakuan secara tertulis begitu saja tanpa diikuti dengan tindakan yang tegas dari pemerintah (kaitannya dengan pembangunan)?
  2. Bagaimana implementasi pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Apakah sudah diterapkan sebagaimana mestinya atau belum?




C. PEMBAHASAN

I. Eksistensi Hak Ulayat Dalam Hukum Indonesia

Sebelum membahas tentang eksistensi Hak Ulayat di Indonesia (Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya), maka perlu kiranya kita mengetahui apa yang dimasksud dengan hak ulayat itu.
Dalam literatur hukum adat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, bahwa ynag dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht, yang menggambarkan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya tersebut. Oleh karena itu ada 2 (dua) hal yang menyebabkan tanah tersebut mempunyai kedudukan sangat penting dalam hukum adat, yaitu:
  • Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan jika terjadi perubahan akan menjadi lebih menguntungkan. Misalnya akibat banjir maupun letusan gunung, tanah dapat menjadi subur.
  • Karena faktanya, bahwa tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan penghidupan bagi masyarakat hukum adat, tempat pemakaman leluhurnya, serta tempat tinggal roh leluhur masyarakat hukum adat tersebut.

Kemudian menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
Mengenai Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya yaitu telah diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, sehingga kalau dijabarkan peraturan perundang-undangan yaitu seperti yang disebutkan dibawah ini:
  • UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, berbunyi : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 
  • UUD 1945 Amandemen II, III, IV, dalam hal perubahan pasal 18 dan penambahan pasal 18A dan 18B serta Pasal 28 I ayat 3.Pasal 18 ayat 5, berbunyi :“ Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah clan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.” 
  • Pasal 18A, berbunyi :“ Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.” 
  • Pasal 18B, terdiri atas dua ayat : Ayat 1:“ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Ayat 2:“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat clan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
  • Pasal 28 I ayat 3: “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” 
  • Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan SDA, Pasal 4 : “ Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ayat (j), yaitu: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/alam. “
  • UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria. Pasal 3 berbunyi : “ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.” 
  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Pasal 5 ayat 3 : “ Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”  Pasal 6 ayat 1 dan 2 :  Ayat 1 : Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. 

       Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional pasal 1, berisi tentang pengertian atas hak Ulayat, tanah ulayat, dan batasan pengertian tentang masyarakat hukum adat (sebagaimana istilah yang terdapat dalam pasal 3 UUPA). 
Hak Ulayat atau beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat, adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun,dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.  
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga syarat: 
  • Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
  • Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.
  • Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

Maria S.W. Sumardjono, menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu:
  • Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat;
  • Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai ebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat;
  • Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.



II. Implementasi Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999, menyatakan bahwa “Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.” 
        Mengenai jangka waktu dari HGU/HP itu sendiri telah diatur dalam UUPA
  • HGU diatur dalam pasal 29 ayat (1), (2) dan (3), HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 Tahun, untuk perusahaan yang membutuhkan waktu yang lebih lama diberikan waktu paling lama 35 tahun, dapat di perpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun.
  • HP diatur dalam pasal 41 ayat (2), HP diberikan selama waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa atau apapun.

Setelah mempelajari kedua aturan diatas, terlihat jelas bahwa jangka waktu HGU itu sudah ditentukan, namun jangka waktu HP itu tidak dirincikan secara jelas. Kemudian terkait dengan hak ulayat (dalam Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999) ditentukan bahwa kalau pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan HGU/HP terhadap tanah ulayat kepada Badan Hukum Swasta ataupun Pemerintah, harus diikuti dengan persetujuan dari Masyarakat Hukum Adat. Namun dalam praktek ketentuan tersebut di atas sering kali disimpangi, dimana pelepasan tanah ulayat itu tidak diikuti dengan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari masyarakat hukum adat tapi cukup dengan kesepakatan antara pengusaha tentang pemerintah saja. Hal ini berdasarkan pengamatan pada kasus tanah ulayat di daerah Rokan Hulu (Riau), dimana pada waktu pemberian HGU terhadap salah satu Badan Hukum Swasta yang bergerak di bidang perkebunan, awalnya memang minta persetujuan atau izin dari Masyarakat Hukum Adat setempat, tetapi setelah jangka waktu pemberian berakhir untuk perpanjangannya tidak lagi minta persetujuan pada Masyarakat Hukum Adat. Apalagi untuk saat sekarang ini  Badan Hukum Swasta tersebut memperluas lahannya dengan status Hak Pakai, yang dalam pemberiannya tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat.
           Dengan melihat kasus tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 itu pada implentasinya tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Hal ini tidak terlepas karena kebutuhan akan tanah baik untuk keperluan pembangunan yang dilakukan oleh badan hukum swasta maupun badan hukum publik, serta sekedar memenuhi tuntutan hidup orang-perorangan, dalam perkembangannya dirasa semakin meningkat. Padahal dalam realitas penduduk semakin bertambah, sedangkan tanah cenderung semakin menyempit. Sementara tanah negara dapat dikatakan hampir tidak ada lagi, sehingga hal demikian berpotensi menimbulkan konflik hak ulayat masyarakat hukum adat, baik antara masyarakat hukum adat tertentu dengan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan (konflik vertikal), maupun antara masyarakat hukum adat dengan badan hukum swasta, termasuk antara masyarakat hukum adat (konflik horisontal). Berbagai kasus tentang tanah ulayat yang timbul dalam skala regional maupun nasional, tidak akan memperoleh penyelesaian secara tuntas tanpa adanya kriteria obyektif yang diperlukan sebagai tolok ukur penentu keberadaan hak ulayat. 
Di berbagai daerah telah terjadi rangkaian pelanggaran hak masyarakat adat dengan pola yang kurang lebih sama, di Wasior, Wamena, Merauke (Papua), Bulukumba (Sulawesi Selatan), Manggarai (NTT), Rokan Hulu (Riau), dan di Kampung halaman Suku Anak Dalam (Jambi), Semunying (Bengakayang Kalbar), Sintang dan Sanggau, Ketapang.


D. PENUTUP 
Kesimpulan
       Akhirnya berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan, antara lain:
  1. Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan perairan serta isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah dan perairan serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan kepala adat.
  2. Hak ulayat eksistensi telah diakui dalam peraturan perundang-undangan indonesia, seperti yang telah di jelaskan sebelumnya. Namun aturan-aturan tersebut tidak merumuskan hak ulayat secara tegas dan jelas. Dalam pengakuan eksistensi Hak Ulayat, terdapat batasan-batasan yang diatur dalam Pasal 3 UUPA, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya.
  3. Implementasi dari Pasal 4 Ayat (2) PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999, dalam praktek ketentuan ini banyak disimpangi, yang mana dalam pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan HGU/HP terhadap tanah ulayat kepada Badan Hukum Swasta ataupun Pemerintah, tidak diikuti dengan persetujuan dari Masyarakat Hukum Adat.
  4. Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam implementasinya masih harus dibangun komitmen terhadap pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam berbagai regulasi, seperti UU lingkungan hidup, UU kehutanan, UU Transmigrasi dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA

Agung Basuki Prasetyo, Juli 2010, Hak Ulayat Sebagai Hak Konstitusional (Suatu Kajian Yuridis Empiris), Masalah-Masalah Hukum Jilid 39 No. 2, Fakultas Hukum UNDIP.

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.

Maria S.W. Sumardjono, 2005,“Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi” (Penerbit Kompas, Jakarta).

Surojo Wignyodipuro, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945 Amandemen
UU No. 5 Tahun 1960
UU No. 39 Tahun 1999
Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001
PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999