TINDAK PIDANA KHUSUS
Oleh:
M. Sanusi
A. Pengertian
Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum
Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah
ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh
karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana
yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum
Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana
Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau
Hukum Tindak Pidana Khusus.
Hukum tindak pidana khusus
mengatur perbuatan tertentu atau berlaku
terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain
orang tertentu.
Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi
dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus
itu. Hukum Tindak pidana khusus ini
diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana
yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu
merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam
UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan :
“ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi
tersendiri”
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum
Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi
Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang
menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana
korupsi.
- Dasar hukum dan kekhususan.
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai
Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU
No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No
2/Perpu/2002.
Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu
Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang
dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan
diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103
KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
- Semua ketentuan
yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU
itu tidak menentukan lain.
- Adanya
kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak
pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Perundang-undangan Pidana :
- UU pidana dalam
arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
- Peraturan Hukum
Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar
hukum pidana umum
Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi
hukum pidana ada 5 substansi.
- UU saja yang
tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989
yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No
43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 /
2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
- UU yang memuat
ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi
pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab
ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No
7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU
No 23/20020, UU Nov 26/2000).
- UU Pidana, maksudnya undang-undang yang
merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana
dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana.
(seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002
yang diubah dengan UU No 25/2003)
- UU Hukum Pidana
adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang
ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang
acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan
sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan
dengan Hukum administrasi
( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus
masalah penyalahgunaan kewenangan).
Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum
pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
- Semua ketentuan
yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU
itu tidak menentukan lain.
- Adanya
kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak
pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
- Kekhususan T.P. Khusus.
Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan
khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana
umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana
formal.
Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap
perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.
1. Kekhususan Hukum Tindak
Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil.
(Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan
HPU dan dpt berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut
dengan ketntuan khusus (ket.khs)
a.
Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs)
b.
Percobaan dan membantu melakukan
tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang)
c.
Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ket. khs)
d.
Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial).
(menyimpang/ket.khs)
e.
Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara. (ket.khs)
f.
Pegawai negeri merupakan sub. Hukum
tersendiri.(ket. khs).
g.
Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak
pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana.
(ket.khus).
h.
Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang)
i.
Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs)
j.
Adanya pengaturan tindak pidana
selain yang diatur dalam UU
itu.(ket.khs).
k.
Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs)
l.
Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana
yang terjadi. (ket.khs)
m. Tindak pidananya dapat
bersifat politik ( ket.khs).
n.
Dapat pula berlaku asas retro active
2. Penyimpangan terhadap
Hukum Pidana Formal.
a.
Penyidikan dapat dilakukan
oleh Jaksa
,
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Perkara pidana khusus harus
didahulukan dari perkara pidana lain;
c. Adanya gugatan perdata
terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi.
d. Penuntutan Kembali terhadap
pidana bebas atas dasar kerugian negara;
e. Perkara pidana Khusus di
adili di Pengadilan khusus (HPE);
f. Dianutnya Peradilan In
absentia;
g. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank;
h. Dianut Pembuktian terbalik;
i.
Larangan menyebutkan identitas pelapor;
j.
Perlunya pegawai penghubung;
k.
Dianut TTS dan TT
D. Ruang Lingkup Tindak
Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak
pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung
dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU
Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh
: UU No 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No
9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan
maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun
1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah
dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Linyas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar Uang. Sehingga UU yang mengatur
tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus.
Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus :
1. Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7
Drt 1955)
2. Tindak pidana Korupsi
3. Tindak Pidana Terorisme.
Tindak pidana ekonomi
merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini
dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah
khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi,
Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga
pengadilannya harus pengadilan ekonomi.
Hukum Pidana Ekonomi
I.
Pengertian,
dan dasar Hukum
UU No 7 Drt 1955 tidak
memberikan atau merumuskan dalam bentuk
defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt
1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu keten-tuan dalam
atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana
ekonomi.
Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan
dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan
perundang-undangan ten-tang pengusutan,
penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar
hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh
karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana
formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum
(hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan
hukum pidana materil (KUHP).
II. Kekhususan Hukum Pidana
Ekonomi
Hukum Pidana Ekonomi
mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang
lain..Menurut Andi Hamzah
kekhususan yang dimaksud adalah:
a. Peraturan hukum pidana
ekonomi bersifat elastis mudah berubah-
ubah;
b. Perluasan subjek hukum pidana
(pemidanaan badan hukum);
c. Peradilan in absentia; Peradilan in absentia berlaku terhadap orang yang sudah meninggal
dunia dan terhadap orang yang tidak duikenal. Untuk mengetahui siapa orang yang
tidak dikenal ini pelajari UU No 7 Drt 1955 dan UU No 15 Prp tahun 1962.
d. Percobaan dan membantu
melakukan pada delik ekonomi;
e. Pembedaan delik ekonomi
berupa kejahatan dan pelanggaran;
f. Perluasan berlakunya hukum
pidana
g. Penyelesaian di luar acara (
schikking).
h. Perkara TPE diperiksa dan
diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi.
Perlu diketahui bahwa sampai sekarang (tahin 2007) belum ada Pengadilan ekonomi
secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35
ayat (1) UU No 7 Drt 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan
seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang
Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak
pidana ekonomi. Menurut Ps 35 ayat (2)
Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi.
i.
Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim, jaksa, dan Panitera yang diberi
tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi, berarti bukan hakim, jaksa
dan Panitera umum.
j.
Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi
dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.
k. Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar
tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi
III.
Perumusan Tindak Pidana Ekonomi
Hukum Pidana Ekonomi
merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah
tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e
Pasal 1 sub 1e
sudah mengalami beberapa
kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal
26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955.
Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau
berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran
itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat hukum administrasi. Secara teliti pelanggaran
terhadap UU No 7 Drtr 1955 disebut sebagai tindak pidana ekonomi oleh karena
berupa kejahatan yang meru-gikan keuangan dan perekonomian negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 sub 1e,
sub 2e dan sub 3e UU No 7 Drt 1955 tindak pidana ekonomi ini terdapat dua
kelompok.
Pertama tindak pidana yang berasal dari luar UU No 7 Drt 1955,
yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps 1 sub 1e dan
Ps 1 sub 3e.
Kedua tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps 26, Ps
32 dan Ps 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e.
Tindak pidana
berdasarkan Ps 26.
Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak
mengindahkan tuntutan pegawai pengusut
(
selanjutnya
disebut penyidik). Ps 26 merumuskan dengan segaja tidak memenuhi
tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini.
Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus
diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak
pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan
penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah
tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik
diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah :
a.Tuntutan menyerahkan
untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps
18 ayat (1).
b.Tuntutan untuk
diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk dke-tahui penyidik agar
penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1)
c.
Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang
perlu oleh penyidik untuk memeriksa
barang-barang itu (Ps 22 ayat (1).
Tindak Pidana
berdasarkan Pasal 32
Tindak pidana ekonomi
yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan :
a. pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal
7 ayat (1) a,b, atau c;
d. tindakan tatatertib seprti
dalam Pasal 8;
e. suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal
10;
f. tindakan tatatertib sementara. Seperti pada
Pasal 27 dan 28
g. atau menghindari ketentuan
a,b,c atau d tersebut di atas.
Rumusan lengkap Ps 32 sbb:
Barang siapa sengaja
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan
sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan
tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti
termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau
menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peratur-an, tindakan tatatertib
sementara seperti tersebut di atas.
Menurut pembuat UU yang dimuat
dalam penjelasan Ps 32 ini agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada tang
bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagi- nya, sebab pengusaha yang
memnbandel banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya
pelbagai pidana tambahan.
Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33
Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32
di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan
untuk dihindar-kan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan
tatatertib, atau tindak-an tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU
No 7Drt 1955.
Rumusan secara lengkap sbb:
Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang
lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau
pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib
sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.
Ps 33 ini dimaksudkan untuk
dapat mengatasi jika orang yang dengan
sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:
- menarik bagian
kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau
- tindakan tatatertib atau tindakan
tatatertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt
1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu.
Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya
terbatas terhacdap :
- tagihan-tagihan;
- pelaksanaan
suatu tindakan tatatertib;
- pelaksanaan
suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus
berdasarkan UU No 7 Drt 1955.
Menurut Karni apa yang dimaksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan
dalam Ps 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya
dalam
Ps 399 KUHP. Ps 399 KUHP merupakan
kejahatan yang dilakukan oleh pengurus
atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan
hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi
dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :
- ...
menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barfang dari harta
bendanya;
- memindahkan
sesuatu barang baik dengan menerima uang .....
- menguntungkan
salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu
jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang,...
- tidak mencukupi
kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu...
Tindak Pidana Ekonomi
berdasarkan Ps 1 sub 3e
Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain,
sekedar undang-undang oirtu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana
ekonomi.
Tindak pidana yang
dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang
menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana
ekonomi.
- UU No 8 Prp
tahun 1962 LN No 42 tahun 1962
tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
- UU No 9 Prp
tahun 1962 LN No 43 tahun 1962
tentang Pengendalian harga;
- UU No 11 tahun
1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.
IV. Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi
Peradilan tindak pidana ekonomi
yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955
terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan
tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum. Tingkat pertama Peradilan tindak pidana
ekonomi diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps
37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatiur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44,
Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48.
Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap
pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang
panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas
untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps 35 ayat (2)
dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah
pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya
semata-mata maka hakim, paniteradan jaksa
adalahb tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum.
Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan
mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja
ada di pengadilan negeri. Ps 35 ayat (1) memberikan arti pengadilan ekonomi ada
di pengadilan negeri. Pengadilan ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa
dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak nampak akan tetapi
fungsinya ada.
Menurut Ps 36 seorang Hakim atau
Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu
pengadilan ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini dike-hendaki pada tahun 1955
untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekono-mi, ketika itu hakim di
Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada..
Oleh karena pada Ps 36 itu tidak disebut panitera berarti panitera tidak dapat
dipeker-jakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.
Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesiaan tindak
pidana ekonomi maka dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang
di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar
wilayah hukum pengadilan negeri apabila pada pengadilan negeri dalam lingkungan
peng-adilan tinggi itu tidak terdapat hakim atau jaksa yang khusus diberi tugas
memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi.
Pada tingkat banding disebutkan Pada Ps 41 ayat (1) bahwa pada
tiap-tiap pengadilan tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan
pengadilan tinggi ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara
pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama
dengan Ps 35 ayat (1).
V. Badan-Badan Pegawai Penghubung.
Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan
merugikan kepentingan yang sangat gecompliceerd, sehingga orang biasa
dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang
sebenarnya menyebabkan timbul per-bedaan
pendatpat antara jaksa dan hakim. Untuk mengatasi masalah yang berhubung-an
dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan
terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai
penghubung. Badan ini diangkat oleh
menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan
persetujuan Menteri Kehakiman.
Badan ini
diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar
maupun di dalam Pengadilan. Menteri yang bersangkutan maksudnya adalah menteri
yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu apakah
yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan
itu mengenai lalu lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank
Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank
Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas
dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang
yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya memberi bantuan saja bantuan
ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana perekonomia.
Badan pegawai penghubung ini bukanlah sebagai saksi ahli sebagaimana dalam Ps
120 jo Ps 180 KUHAP.
VI.Tindakan Tatatertib Sementara
Tindakan tatatertib
sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag
mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur
dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7
Drt 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengam- bil tindakan
tatatertib sementara. Ketentuan Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) telah diubah
oleh UU No 26/Prp/1960. Secara akademik untuk dapat mengambil tindakan
tatatertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps
27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1)
Ketentuan Ps 27 ayat (1) sama dengan ketentuan Ps 28 ayat (1). . Apabila
dikaji ketentuan kedua pasal itu terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu,
syarat, waktu, tujuan dan tindakan yang
harus dilakukan pengambilan tindakan
tatatertib sementara.
Syarat pengambilan Tatatertib sementa adalah:
- ada hal-hal yang
dirasa sangat memberatkan tersangka;
- ada keperluan
untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang
disangka telah dilanggar oleh tersangka
Waktu pengambilan tindakan tetatertib sementara
- Bagi jaksa
selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1)
- Bagi hakim
sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)
Tujuan pengambilan tindakan
tetatertib sementara
- supaya tidak
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
- supaya tersangka berusaha agar barang-barang
yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara
yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk
dalam perintah tersebut.
Tindakan Melaksanakan
Tindakan Tetatertib Sementara
- penutupan
seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah
dilakukan;
- penempatan
perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah
dilakukan, dibawah pengampuan
- pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau
sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah
kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.
Pelaksanaan Pengambilan Tindakan Tata teretib Sementara
Apabila hakim telah
menerima berkas perkara pidana eko-nomi harus diperha-tikan apakah Jaksa sudah
atau belum meng-ambil tindakan tatatertib sementara sesuai dengan ketentuan syarat, waktu dan
tujuan. Jaksa setelah menganbil tindakan tata-tertib sementara berdasarkan Ps
27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perin-tah sebagaimana diatur dalam Ps
10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan
Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan :
a. memperpanjang tindakan
tatatertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam)
bulan atas dasar hakim karena
jabatannya, atau tuntutan jaksa.
b. mencabut atau merubah tindakan tatatertib
sementara yang diambil Jaksa atas da
-sar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan
terdakwa.
Tindakan tataertib sementara berdasarkan ketentuan Ps 27 ayat (3) dapat
diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi
itu belum diputus oleh Hakim.
Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim
berdasarkan Ps 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara. Setelah Hakim meng-ambil tindakan tatatertib
sementara, hakim dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam
Ps 10 ayat (1). Tindakan tatatertib semntara yang diambil oleh hakim dapat diperpanjang dengan satu kali
selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut :
a.
oleh hakim karena jabatannya
b.
atas tuntutan jaksa
c.
atas permohonan terdakwa.
Mengingat tindakan tatatertib sementara
kemungkinan dapat menim,bulkan kerugian yang besar, maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan
mengganti keru-gian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan:
a.
tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tatatertib.
b. dijatuhkan pidana pokok atau
tindakan tetatertib sehingga tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan
dipandang terlalu berat.
Uang pengganti kerugian itu
dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak menghambil keputusan
adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam
tingkat penghabisan.
VII. Sanksi
Sanksi
terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan
tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”.
Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pi-dana
ini sesuai dengan ketentuan Ps 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib
seba-gaimana diatur dalam Ps 8 UU No 7 Drt 1955.
Tindakan
tetatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada diba-wah pengampuan,
kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai
pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak,
meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk
memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila hakim tidak menentukan lain.
.
Sanksai
pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi
pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1
sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif,
maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana
pokok sekaligus (pidana penjara dan denda)
atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.
Perkembangan
selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan
pemberatan.
1.
UU No 8 Drt 1958 selain menambah
tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman
hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu
rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.
2.
UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat
ancaman sanksi pidana terhadap keten-tuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana
korupsi
,
tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara
sekurang-kurangnya satu tahun
dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman
mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga
bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah,
yaitu :
a.
memperlengkapi sandang pangan
rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya;
b.
menyelenggarakan keamanan rakyat
dan negara;
c.
melanjutkan perjuangan menentang
imprealisme ekonomi politik (Irian Barat).
3.
UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat
ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No
8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti
dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat
me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian
dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan human mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda
sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1.Hakim harus menjatuhkan
pidana secara kumulatif.